Pemkab Siap Tertibkan Bangunan Liar di Kawasan Puncak
A
A
A
BOGOR - Setelah tertunda lebih dari empat tahun, upaya untuk mengantisipasi banjir dan longsor dengan cara memulihkan kerusakan lingkungan akibat maraknya bangunan liar di kawasan Puncak, Bogor, akan kembali dilanjutkan Pemkab pada 2019.
Bupati Bogor Ade Yasin saat dikonfirmasi perihal permasalahan tersebut mengungkapkan bahwa pihaknya sedang melakukan pembahasan berbagai langkah apa saja yang harus dilakukan, terlebih saat ini sudah memasuki musim penghujan.
Menurut orang nomor satu di Kabupaten Bogor yang baru dilantik akhir tahun lalu, langkah-langkah tersebut di antaranya dengan cara melakukan pembongkaran atau penertiban ribuan vila dan bangunan liar lainnya di kawasan hulu sungai Ciliwung, tepatnya di Puncak (Ciawi, Megamendung dan Cisarua), Kabupaten Bogor.
"Ya, kita saat ini sudah mulai kembali membahas masalah tersebut, khususnya sejumlah masalah berkaitan dengan ibu kota dan daerah penyangganya. Seperti banjir dan transportasi. Terkait banjir akan kami programkan kembali pembongkaran vila-vila ilegal seperti yang pernah dilakukan pada 2013 lalu," jelasnya.
Namun demikian, lanjut dia, karena minimnya anggaran untuk melakukan penertiban, pihaknya berharap kembali pada Pemprov DKI Jakarta agar mau memberikan bantuan dana hibah.
"Tadi kita rapat dengan Satpol PP dan para asisten daerah membahas tentang maraknya bangunan liar yang berdiri di daerah resapan air. Kami akan melakukan penertiban kembali karena itu salah satu penyumbang banjir DKI Jakarta," ungkapnya.
Tentunya program lanjutan pembongkaran ribuan bangunan liar itu membutuhkan dana besar. Satpol PP Kabupaten Bogor tahun ini hanya memiliki anggaran Rp300 juta untuk pembongkaran. "Tak akan cukup dan tak mungkin dengan dana Rp300 juta itu bisa melakukan pembongkaran ribuan bangunan liar di Puncak. Kita ingin ada bantuan hibah dari DKI Jakarta untuk penertiban itu," paparnya.
Pihaknya mengaku sudah memerintahkan Satpol PP dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor untuk membuat proposal bantuan hibah kepada Pemprov DKI Jakarta.
"Usulan bantuan hibah tersebut kaitannya bukan hanya untuk penertiban bangunan liar, tapi revitalisasi sungai-sungai yang ada di Kabupaten Bogor, khususnya yang berkaitan dengan banjir DKI itu sendiri," ungkapnya.
Sementara itu, Koordintaor Konsorsium Penyelamatan Puncak yang juga akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustiadi, menjelaskan, penyebab banjir DKI Jakarta di antaranya akibat terjadinya peningkatan alih fungsi lahan di kawasan Puncak.
"Harus ada rencana serius soal tata ruang, sehingga ada kejelasan dan kepastian hukum, terkait pengaturan tentang zonasi, melalui regulasi yang bukan seperti kawasan perkotaan pada umumnya. Sehingga akan sangat jelas mana kawasan yang boleh ditempatkan bangunan dan mana yang tidak,"papar Ernan.
Dia menambahkan, hal tersebut juga sebagai bagian dari upaya menciptakan kondusifitas iklim investasi bagi para pengusaha yang masuk ke kawasan Puncak. "Kalau sekarang pengusaha membangun properti, ternyata lahannya mudah longsor, ada bangunan penduduk juga di dekatnya. Kawasan Puncak ini diperlakukan seperti halnya penataan ruang di kawasan perkotaan lainnya," paparnya.
Berdasarkan pengamatannya, diperkirakan sebanyak 40% bangunan di Puncak berdiri di tempat yang bukan semestinya. Hal tersebut berdampak terhadap terganggunya keseimbangan tata ruang dan menyebabkan daya dukung kawasan berkurang hingga longsor mudah terjadi.
"Selain itu, 34 persen perkebunan di kawasan Puncak tidak sesuai dengan RTRW. Tapi di lapangan, hak guna usaha mereka adalah perkebunan dan mereka tidak masuk kawasan hutan sesuai SK Kementerian LHK," ujarnya.
Dia menuturkan, sampai saat ini tutupan hutan yang tersisa di Puncak hanya sekitar 30%. Itu juga hanya area yang memang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan dalam SK Kemen LHK.
"Sementara 34 persen lainnya itu lahan perkebunan, 11 persen permukiman, dan 18 persen sawah. Sisanya itu lahan peralihan dari sawah atau hutan yang akan dialihfungsikan sebagai permukiman maupun perkebunan," katanya.
Setidaknya, lanjut dia, tutupan hutan di Puncak paling minim 50%. Untuk mengembalikan tutupan yang telah berkurang, permukiman, dan perkebunan memang harus dialihfungsikan kembali sebagai hutan lindung. (Haryudi)
Bupati Bogor Ade Yasin saat dikonfirmasi perihal permasalahan tersebut mengungkapkan bahwa pihaknya sedang melakukan pembahasan berbagai langkah apa saja yang harus dilakukan, terlebih saat ini sudah memasuki musim penghujan.
Menurut orang nomor satu di Kabupaten Bogor yang baru dilantik akhir tahun lalu, langkah-langkah tersebut di antaranya dengan cara melakukan pembongkaran atau penertiban ribuan vila dan bangunan liar lainnya di kawasan hulu sungai Ciliwung, tepatnya di Puncak (Ciawi, Megamendung dan Cisarua), Kabupaten Bogor.
"Ya, kita saat ini sudah mulai kembali membahas masalah tersebut, khususnya sejumlah masalah berkaitan dengan ibu kota dan daerah penyangganya. Seperti banjir dan transportasi. Terkait banjir akan kami programkan kembali pembongkaran vila-vila ilegal seperti yang pernah dilakukan pada 2013 lalu," jelasnya.
Namun demikian, lanjut dia, karena minimnya anggaran untuk melakukan penertiban, pihaknya berharap kembali pada Pemprov DKI Jakarta agar mau memberikan bantuan dana hibah.
"Tadi kita rapat dengan Satpol PP dan para asisten daerah membahas tentang maraknya bangunan liar yang berdiri di daerah resapan air. Kami akan melakukan penertiban kembali karena itu salah satu penyumbang banjir DKI Jakarta," ungkapnya.
Tentunya program lanjutan pembongkaran ribuan bangunan liar itu membutuhkan dana besar. Satpol PP Kabupaten Bogor tahun ini hanya memiliki anggaran Rp300 juta untuk pembongkaran. "Tak akan cukup dan tak mungkin dengan dana Rp300 juta itu bisa melakukan pembongkaran ribuan bangunan liar di Puncak. Kita ingin ada bantuan hibah dari DKI Jakarta untuk penertiban itu," paparnya.
Pihaknya mengaku sudah memerintahkan Satpol PP dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor untuk membuat proposal bantuan hibah kepada Pemprov DKI Jakarta.
"Usulan bantuan hibah tersebut kaitannya bukan hanya untuk penertiban bangunan liar, tapi revitalisasi sungai-sungai yang ada di Kabupaten Bogor, khususnya yang berkaitan dengan banjir DKI itu sendiri," ungkapnya.
Sementara itu, Koordintaor Konsorsium Penyelamatan Puncak yang juga akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustiadi, menjelaskan, penyebab banjir DKI Jakarta di antaranya akibat terjadinya peningkatan alih fungsi lahan di kawasan Puncak.
"Harus ada rencana serius soal tata ruang, sehingga ada kejelasan dan kepastian hukum, terkait pengaturan tentang zonasi, melalui regulasi yang bukan seperti kawasan perkotaan pada umumnya. Sehingga akan sangat jelas mana kawasan yang boleh ditempatkan bangunan dan mana yang tidak,"papar Ernan.
Dia menambahkan, hal tersebut juga sebagai bagian dari upaya menciptakan kondusifitas iklim investasi bagi para pengusaha yang masuk ke kawasan Puncak. "Kalau sekarang pengusaha membangun properti, ternyata lahannya mudah longsor, ada bangunan penduduk juga di dekatnya. Kawasan Puncak ini diperlakukan seperti halnya penataan ruang di kawasan perkotaan lainnya," paparnya.
Berdasarkan pengamatannya, diperkirakan sebanyak 40% bangunan di Puncak berdiri di tempat yang bukan semestinya. Hal tersebut berdampak terhadap terganggunya keseimbangan tata ruang dan menyebabkan daya dukung kawasan berkurang hingga longsor mudah terjadi.
"Selain itu, 34 persen perkebunan di kawasan Puncak tidak sesuai dengan RTRW. Tapi di lapangan, hak guna usaha mereka adalah perkebunan dan mereka tidak masuk kawasan hutan sesuai SK Kementerian LHK," ujarnya.
Dia menuturkan, sampai saat ini tutupan hutan yang tersisa di Puncak hanya sekitar 30%. Itu juga hanya area yang memang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan dalam SK Kemen LHK.
"Sementara 34 persen lainnya itu lahan perkebunan, 11 persen permukiman, dan 18 persen sawah. Sisanya itu lahan peralihan dari sawah atau hutan yang akan dialihfungsikan sebagai permukiman maupun perkebunan," katanya.
Setidaknya, lanjut dia, tutupan hutan di Puncak paling minim 50%. Untuk mengembalikan tutupan yang telah berkurang, permukiman, dan perkebunan memang harus dialihfungsikan kembali sebagai hutan lindung. (Haryudi)
(nfl)