Sepanjang 2018, Delapan Pelajar di Jakarta Tewas Akibat Tawuran

Minggu, 16 Desember 2018 - 20:04 WIB
Sepanjang 2018, Delapan...
Sepanjang 2018, Delapan Pelajar di Jakarta Tewas Akibat Tawuran
A A A
JAKARTA - Tawuran antarpelajar di Jakarta kembali marak. Tak hanya korban luka, sejumlah nyawa pun melayang akibat tawuran antarsiswa yang terjadi di Ibu Kota.

Berdasarkan data yang dihimpun KORAN SINDO, tercatat ada delapan pelajar tewas karena tawuran di Jakarta. Mereka meninggal dengan sejumlah luka sabetan senjata tajam ketika tawuran terjadi.

Kasus paling menyita perhatian terjadi pada pekan lalu. Melalui video yang tersebar di media sosial (medsos) terlihat tawuran pecah antara SMP 17 Karang Anyar dengan Sekolah Tribuana di jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Desember 2018 lalu.

Dalam kejadian itu pelajari SMP 17, Wahyu Ramadan (15) tewas dengan luka sabetan senjata tajam. Sehari setelah kejadian, dua pelajar yang diduga menghabisi nyawa Wahyu, berinisial, TG dan DS diciduk tim gabungan Polda Metro Jaya dan Polsek Sawah Besar.

Sedangkan tujuh kasus tawuran antarpelajar yang mengakibat korban jiwa terjadi pada Minggu, 11 Februari 2018 di Ciracas, Jakarta Timur. Dalam kejadian itu dua bocah tewas, yakni pelajar SD, MR (13), dan pelajar SMP, DK (14).

30 Agustus 2018, di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat, pelajar SMK Tri Arga Kebon Jeruk, Rio (16), tewas bersimbah darah usai tawuran.
Dua hari setelah tewasnya Rio, pelajar SMA, AH (16), tewas setelah tawuran pecah di kawasan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Sabtu, 1 September 2018.

Pada 1 November 2018, tawuran terjadi di kolong tol Jalan Deplu Raya, Bintaro, Jakarta Selatan. Dalam peristiwa itu, pelajar STM Sasmita Jaya Pamulang, Muhammad Kindy (17) tewas dibacok.

Dua pekan setelah tewasnya Kindy, tawuran antara SMP Al Mansyuriah dengan MTS Saadad Tuddarain terjadi di Kembangan Selatan, Kembangan, Jakarta Barat pada Senin, 19 November 2018. Kejadian ini membuat pelajar SMP Al Mansyuriah, DR (15), tewas sehari setelah jalani perawatan di RS Pondok Indah, Kembangan.

Sekjen Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan Anak, Andreas Tambah menuturkan, kemajuan teknologi saat ini tak diimbangi mental yang belum siap menyebabkan tawuran terjadi. Ucapan saling ledek medsos menjadi pemicu tawuran.

Kondisi diperburuk dengan sikap kepolisian yang tak memfilter ketegasan sekolah. Seringkali, kata Andreas, polisi menindaklanjuti upaya pemberian hukuman yang diberikan oleh guru kepada murid yang nakal. “Inilah yang kemudian membuat guru cenderung tak memiliki prinsip. Mereka ketakutan dengan ancaman orang tua atau wali murid. Padahal sejatinya, apa yang dilakukan bagian dari proses pendidikan,” ucapnya.

Andreas sendiri tak bisa berbuat apa, peran medsos merupakan konsekuensi dari kemajuan teknologi Industri 4.0. Tanpa filterisasi pada masing masing individu, maka potensi konflik muncul.

Meski demikian, dirinya menganalisis ada dua peran yang menyebabkan tawuran, yakni, faktor lingkungan dan faktor keluarga. Bila lingkungan baik, maka tak jarang individu akan baik.“Begitupun dengan keluarga baik, maka mencegah tawuran akan teratasi,” ucapnya.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto mencatat tawuran antarpelajar mengalami peningkatan di tahun 2018. Padahal bila merujuk tiga tahun lalu, yakni 2014-2017 jumlah tawuran menurun.

“Pada 2014, total kasus tawuran di bidang pendidikan mencapai 24%. Satu tahun kemudian, kasus menurun hingga 17,9%, lalu menjadi 12,9% di 2016. Sementara tahun lalu, kasus mencapai 12,9%. Sedangkan di September tahun ini mencapai 14%,” paparnya.

Bahkan dalam dua tahun tahun terakhir, KPAI mencatat ada 202 anak yang berhadapan hukum dalam kasus tawuran. Sementara 74 lainnya tercatat tersangkut kasus kepemilikan senjata tajam. Hingga kini, Susanto mengakui belum ada formula dan jalan keluar yang efektif untuk menghentikan tradisi tawuran.

Tawuran pelajar merupakan siklus kekerasan yang terjadi dalam satu sekolah atau antarsekolah. “Peran orang tua, institusi pendidikan, dan model peran dari masyarakat belum benar-benar berperan sebagai agen perubahan yang bisa mengikis budaya kekerasan tersebut,” ucap Susanto.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0934 seconds (0.1#10.140)