Rampas Motor Warga di Jalan, Debt Collector Ditangkap Polisi
A
A
A
JAKARTA - Seorang debt collector berinisial KSN alias Pepen (34), ditangkap petugas Polresta Tangerang Kabupaen lantaran merampas motor warga di pinggir Jalan Kronjo.
Aksi main hakim sendiri debt collector ini, terjadi pada 29 Juli 2018 lalu. Dalam menjalankan aksinya, Pepen dibantu oleh tiga rekannya, yakni BRM, KDR dan GRB.
Kapolresta Tangerang Kabupaten Kombes Pol Sabilul Alif mengatakan, merampas sepeda motor di jalanan tidak dapat dibenarkan. Apalagi, dalam aksinya itu, Pepen melakukan intimidasi dan kekerasan.
"KSN bersama ketiga rekannya, yakni BRM, KDR, dan GRB merampas sepeda motor milik warga bernama Suandi (37)," kata Sabilul di Mapolresta Tangerang, Rabu (10/10/2018).
Para pelaku, sambung Alif, mencegat korban dan merampas motor yang sedang dikendarai Suandi. Salah satu pelaku bahkan mencekik leher korban, sehingga Suandi terpaksa menyerahkan sepeda motornya.
"Korban kemudian melaporkan peristiwa itu ke kepolisian dan langsung ditindak lanjuti dengan melakukan penyelidikan. Pada 1 Oktober 2018 pelaku ditangkap," jelasnya.
Menurut dia, persoalan kredit macet tidak dapat dijadikan alasan debt collector untuk merampas motor. Apalagi dengan kekerasan dan intimidasi kepada korban. Semua harus sesuai mekanisme hukum.
"Semua harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum, seperti tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia," sambungnya.
Dijelaskan dia, Undang-Undang Jaminan Fidusia dapat memberikan jaminan kepada debitur dan kreditur (leasing) dalam proses penarikan kendaraan yang kreditnya macet. Namun tetap tidak boleh seenaknya sendiri.
"Tanpa sertifikat fidusia, debt collector tidak boleh melakukan eksekusi di jalan, karena berpotensi menimbulkan pidana. Apalagi disertai intimidasi dan kekerasan," terangnya.
Mekanisme proses eksekusi, pertama adalah, pihak leasing harus memberikan surat peringatan 1 hingga 3 kali, kepada debitur yang mengalami kredit macet setelah tiga bulan lamanya berturut-turut.
"Setelah memberikan SP1 hingga SP3, kreditur melalui jasa penagihan berhak melakukan eksekusi kepada debitur, dengan syarat membawa sertifikat fidusia dan surat kuasa dari pihak perusahaan," paparnya.
Meski telah mengantongi sertifikat fidusia, pihak jasa penagihan juga harus tetap menjaga sopan santun. Tidak boleh melakukan intimidasi dan tindak kekerasan.
"Yang terpenting tetap santun, beretika, dan tidak di jalan. Bila syarat hukum itu terpenuhi, pemegang kendaraan wajib menyerahkan. Tidak boleh tidak," jelasnya.
Dikatakan dia, sertifikat fidusia memberikan proteksi kepada pihak leasing. Sebab, tanpa adanya sertifikat fidusia, perusahaan pembiayaan harus melewati mekanisme pengadilan saat eksekusi.
"Pemegang kendaraan bisa menanyakan debt collector tentang sertifikat fidusia. Bila tidak ada, debt collector tidak bisa melakukan eksekusi. Bila tetap memaksa eksekusi, itu perampasan," tegasnya.
Buntut dari aksi sepihak debt collector ini ternyata cukup panjang. Diduga, masih banyak pihak debt collector yang bekerja tanpa dilengkapi dengan sertifikat fidusia.
"Untuk itu, kami meminta tempat-tempat yang biasa dijadikan lokasi berkumpul debt collector dirazia, agar peristiwa serupa perampasan motor oleh debt collector tidak akan terjadi lagi," pungkas Alif.
Sementara itu, Suandi mengaku, pihaknya tidak merasa punya masalah pembayaran dengan leasing motor. Pembayaran kredit motornya berjalan lancar, tanpa tunggakan.
"Karena merasa benar, makanya saat akan diambil saya melawan. Tetapi pelaku malah memaksa dan melakukan kekerasan, mencekik dan memukul saya. Akhirnya, motor saya dirampas pelaku," sambungnya.
Usai kejadian, korban langsung melapor ke Polresta Tangerang Kabupaten. Tidak lama berselang, pelaku KSN berhasil diciduk. Sedang tiga rekannya, yakni BRM, KDR dan GRB masih dalam pengejaran kepolisian.
Atas perbuatannya, pelaku dijerat dengan Pasal 365 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan, dan ancaman pidananya mencapai 4 tahun kurungan penjara.
Aksi main hakim sendiri debt collector ini, terjadi pada 29 Juli 2018 lalu. Dalam menjalankan aksinya, Pepen dibantu oleh tiga rekannya, yakni BRM, KDR dan GRB.
Kapolresta Tangerang Kabupaten Kombes Pol Sabilul Alif mengatakan, merampas sepeda motor di jalanan tidak dapat dibenarkan. Apalagi, dalam aksinya itu, Pepen melakukan intimidasi dan kekerasan.
"KSN bersama ketiga rekannya, yakni BRM, KDR, dan GRB merampas sepeda motor milik warga bernama Suandi (37)," kata Sabilul di Mapolresta Tangerang, Rabu (10/10/2018).
Para pelaku, sambung Alif, mencegat korban dan merampas motor yang sedang dikendarai Suandi. Salah satu pelaku bahkan mencekik leher korban, sehingga Suandi terpaksa menyerahkan sepeda motornya.
"Korban kemudian melaporkan peristiwa itu ke kepolisian dan langsung ditindak lanjuti dengan melakukan penyelidikan. Pada 1 Oktober 2018 pelaku ditangkap," jelasnya.
Menurut dia, persoalan kredit macet tidak dapat dijadikan alasan debt collector untuk merampas motor. Apalagi dengan kekerasan dan intimidasi kepada korban. Semua harus sesuai mekanisme hukum.
"Semua harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum, seperti tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia," sambungnya.
Dijelaskan dia, Undang-Undang Jaminan Fidusia dapat memberikan jaminan kepada debitur dan kreditur (leasing) dalam proses penarikan kendaraan yang kreditnya macet. Namun tetap tidak boleh seenaknya sendiri.
"Tanpa sertifikat fidusia, debt collector tidak boleh melakukan eksekusi di jalan, karena berpotensi menimbulkan pidana. Apalagi disertai intimidasi dan kekerasan," terangnya.
Mekanisme proses eksekusi, pertama adalah, pihak leasing harus memberikan surat peringatan 1 hingga 3 kali, kepada debitur yang mengalami kredit macet setelah tiga bulan lamanya berturut-turut.
"Setelah memberikan SP1 hingga SP3, kreditur melalui jasa penagihan berhak melakukan eksekusi kepada debitur, dengan syarat membawa sertifikat fidusia dan surat kuasa dari pihak perusahaan," paparnya.
Meski telah mengantongi sertifikat fidusia, pihak jasa penagihan juga harus tetap menjaga sopan santun. Tidak boleh melakukan intimidasi dan tindak kekerasan.
"Yang terpenting tetap santun, beretika, dan tidak di jalan. Bila syarat hukum itu terpenuhi, pemegang kendaraan wajib menyerahkan. Tidak boleh tidak," jelasnya.
Dikatakan dia, sertifikat fidusia memberikan proteksi kepada pihak leasing. Sebab, tanpa adanya sertifikat fidusia, perusahaan pembiayaan harus melewati mekanisme pengadilan saat eksekusi.
"Pemegang kendaraan bisa menanyakan debt collector tentang sertifikat fidusia. Bila tidak ada, debt collector tidak bisa melakukan eksekusi. Bila tetap memaksa eksekusi, itu perampasan," tegasnya.
Buntut dari aksi sepihak debt collector ini ternyata cukup panjang. Diduga, masih banyak pihak debt collector yang bekerja tanpa dilengkapi dengan sertifikat fidusia.
"Untuk itu, kami meminta tempat-tempat yang biasa dijadikan lokasi berkumpul debt collector dirazia, agar peristiwa serupa perampasan motor oleh debt collector tidak akan terjadi lagi," pungkas Alif.
Sementara itu, Suandi mengaku, pihaknya tidak merasa punya masalah pembayaran dengan leasing motor. Pembayaran kredit motornya berjalan lancar, tanpa tunggakan.
"Karena merasa benar, makanya saat akan diambil saya melawan. Tetapi pelaku malah memaksa dan melakukan kekerasan, mencekik dan memukul saya. Akhirnya, motor saya dirampas pelaku," sambungnya.
Usai kejadian, korban langsung melapor ke Polresta Tangerang Kabupaten. Tidak lama berselang, pelaku KSN berhasil diciduk. Sedang tiga rekannya, yakni BRM, KDR dan GRB masih dalam pengejaran kepolisian.
Atas perbuatannya, pelaku dijerat dengan Pasal 365 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan, dan ancaman pidananya mencapai 4 tahun kurungan penjara.
(mhd)