Psikolog: Akar Masalah Suporter Bola Tidak Pernah Diselesaikan
A
A
A
DEPOK - Berulangnya kembali kasus meninggalnya pendukung tim sepakbola akibat dikeroyok pendukung tim lawan dinilai akibat akar masalah yang tidak pernah diselesaikan. Apa yang terjadi antara pendukung Persija Jakarta, Jakmania dan pendukung Persib Bandung, Bobotoh adalah bentuk agresivitas kelompok yang terus-menerus diturunkan.
Psikolog dari Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan, apa yang menjadi sumber masalahnya selama ini tidak pernah teridentifikasi dengan jelas. Terlebih sanksi bagi pelaku tindak kekerasan tidak memberikan efek jera.
Misalnya, jika ada kejadian seperti ini yang dihukum adalah klub atau membekukan pertandingan. Padahal yang melakukan tindak kekerasan adalah individu-individu yang bergabung dalam kelompok.
"Selama ini kita tidak pernah tahu hukuman bagi si pelaku tindak kekerasan ini. Sudah banyak suporter yang mati tapi juga terulang lagi. Misalnya pengerusakan di GBK kemarin, juga tidak ada sanksi yang tegas pada pelakunya, sehingga tidak ada efek jera,” ujar Shinta, Senin (24/9/2018).
Shinta menjelaskan, seringkali pertandingan olahraga, terutama sepakbola, hanya digunakan sebagai media untuk menampilkan agresivitas yang selama ini tak tersalurkan. Sebab anak muda seringkali membutuhkan media untuk menyalurkan energinya, baik dalam bentuk positif maupun negatif. (Baca juga: Sesali Suporter Jakmania Tewas, Anies Ingin Kekerasan Ini Berakhir)
Ketika menonton sepakbola dijadikan ajang penyaluran energi, maka potensi konflik dengan lawan menjadi sangat tinggi, karena ada kesamaan keinginan. Adanya kekuatan sebagai anggota kelompok biasanya mendorong seseorang untuk berperilaku sesuai kelompoknya.
“Saat melebur dalam kelompok, ia menjadi anonim. Semua adalah anggota corps tertentu, sehingga ketika terprovokasi untuk melakukan agresifitas, juga tidak lagi melihat individu,” ungkapnya. (Baca juga: Jakmania Tewas Dikeroyok di GBLA, Persija Berduka )
Dengan demikan, seringkali pendukung sepakbola tidak lagi berpikir konsekuensi atas tindakannya secara logis, tapi lebih didorong oleh emosi agresif kelompok. Hati nurani menjadi tidak ada, karena melebur dalam kelompok dan menjadi anonim.
Padahal, dalam tindak kriminal pelakunya tetap individu-individu. Apalagi jika korban hanya sendiri atau minoritas, mereka akan lebih brutal melampiaskan agresivitasnya.
Shinta juga melihat esensi sport sebagai kata dasar sportivitas, tidak lagi ditunjukkan. Padahal seharusnya hal ini bisa diedukasi oleh setiap klub di tiap kota. Mereka harus diedukasi bahwa sepakbola adalah olahraga, bukan ajang melampiaskan hal-hal tertentu.
Psikolog dari Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan, apa yang menjadi sumber masalahnya selama ini tidak pernah teridentifikasi dengan jelas. Terlebih sanksi bagi pelaku tindak kekerasan tidak memberikan efek jera.
Misalnya, jika ada kejadian seperti ini yang dihukum adalah klub atau membekukan pertandingan. Padahal yang melakukan tindak kekerasan adalah individu-individu yang bergabung dalam kelompok.
"Selama ini kita tidak pernah tahu hukuman bagi si pelaku tindak kekerasan ini. Sudah banyak suporter yang mati tapi juga terulang lagi. Misalnya pengerusakan di GBK kemarin, juga tidak ada sanksi yang tegas pada pelakunya, sehingga tidak ada efek jera,” ujar Shinta, Senin (24/9/2018).
Shinta menjelaskan, seringkali pertandingan olahraga, terutama sepakbola, hanya digunakan sebagai media untuk menampilkan agresivitas yang selama ini tak tersalurkan. Sebab anak muda seringkali membutuhkan media untuk menyalurkan energinya, baik dalam bentuk positif maupun negatif. (Baca juga: Sesali Suporter Jakmania Tewas, Anies Ingin Kekerasan Ini Berakhir)
Ketika menonton sepakbola dijadikan ajang penyaluran energi, maka potensi konflik dengan lawan menjadi sangat tinggi, karena ada kesamaan keinginan. Adanya kekuatan sebagai anggota kelompok biasanya mendorong seseorang untuk berperilaku sesuai kelompoknya.
“Saat melebur dalam kelompok, ia menjadi anonim. Semua adalah anggota corps tertentu, sehingga ketika terprovokasi untuk melakukan agresifitas, juga tidak lagi melihat individu,” ungkapnya. (Baca juga: Jakmania Tewas Dikeroyok di GBLA, Persija Berduka )
Dengan demikan, seringkali pendukung sepakbola tidak lagi berpikir konsekuensi atas tindakannya secara logis, tapi lebih didorong oleh emosi agresif kelompok. Hati nurani menjadi tidak ada, karena melebur dalam kelompok dan menjadi anonim.
Padahal, dalam tindak kriminal pelakunya tetap individu-individu. Apalagi jika korban hanya sendiri atau minoritas, mereka akan lebih brutal melampiaskan agresivitasnya.
Shinta juga melihat esensi sport sebagai kata dasar sportivitas, tidak lagi ditunjukkan. Padahal seharusnya hal ini bisa diedukasi oleh setiap klub di tiap kota. Mereka harus diedukasi bahwa sepakbola adalah olahraga, bukan ajang melampiaskan hal-hal tertentu.
(thm)