Tipu Istri Jenderal, Janda Hamil Tujuh Bulan Ditahan Polisi
A
A
A
BEKASI - Seorang wanita yang tengah hamil tujuh bulan ditahan polisi lantaran diduga terlibat kasus penipuan dan penggelapan. FT (22) saat ini ditahan di Mapolsek Pondok Gede, Bekasi lantaran menipu DW.
DW merupakan istri seorang Jenderal berbintang satu di Mabes Polri. Kasus itu terjadi pada awal bulan Mei 2018 lalu.
"Kita hanya menerima pelimpahan kasus saja, pelaku (FT) ditangkap di Jakarta," ujar Kepala Sub Bagian (Kasubbag) Humas Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi Kota, Kompol Erna Ruswing Andari di Bekasi, Kamis 23 Agustus 2018.
Sebelum dilimpahkan ke Pondok Gede, kata dia, FT sempat ditahan di Polsek Pinang Ranti dan dipindahkan ke Polsek Kebayoran Baru. Sebab, FT sendiri berdomisili di wilayah hukum Kota Bekasi. Sehingga, berkas kasus dugaan penipuan tersebut dilimpahkan ke Bekasi.
Erna menjelaskan, penangkapan FT oleh polisi atas dasar laporan penipuan jual beli barang melalui media sosial. "Jualan baju, korban sudah membayar melalui rekening, namun barang yang dipesan tak kunjung datang. Selanjutnya, korban membuat laporan karena menjadi korban penipuan," katanya.
Kuasa Hukum FT, Uli Pangaribuan mengatakan, ada relasi kuasa yang timpang antara FT dan DW yang mempergunakan jabatan suaminya seorang Jenderal.
"Jika kami melihat hal ini ada peristiwa yang menggambarkan arogansi seseorang dan penggunaan kuasa untuk mempengaruhi proses penegakan hukum," kata Anggota LBH APIK Jakarta ini.
Menurutnya, tersangka FT merupakan seorang single parent atau janda. Saat itu, FT mempunyai usaha baju batik sejak tahum 2012 silam. Mulanya, FT membuka gerai batik di Thamrin City. Lantaran harga lapak yang mahal, FT kemudian beralih mempromosikan batik melalui media sosial.
Pada awal tahun 2018, hasil produksinya mendapatkan penghargaan dari Kementerian Perindustrian pada tahun 2018. Kronologis penangkapan terhadap FT berawal ketika dia mempromosikan garage sales untuk baju-baju batiknya, dan menerima pesanan dari DW yang merupakan isteri Jenderal bintang satu di Mabes Polri.
"DW memesan 10 baju batik senilai Rp2,5 juta. Namun, sampai pada tenggat waktu pengiriman barang FT tidak sanggup memenuhi pesanan dan bersedia mengembalikan dana pemesanan," jelasnya.
DW kemudian mengultimatum FT untuk mengembalikan dana pemesanan dalam waktu 1 jam setelah pembatalan tersebut.
Walau keluarga FT bersedia mengembalikan uang tersebut, DW melaporkan FT dengan tuduhan melakukan penipuan dan penggelapan. Polisi bertindak cepat dengan menangkap dan menahan FT. FT langsung dibawa ke Polsek Pinang Ranti, dipindahkan ke Polsek Kebayoran Baru dan selanjutnya dipindahkan ke Polsek Pondok Gede untuk BAP.
Setelah BAP, kata dia, FT dilakukan penahanan pada 4 Mei 2018 lalu dan dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu. Padahal, dihadapan penyidik FT telah menandatanggani surat kesanggupannya untuk mengembalikan dana tersebut. Bahkan, penjemputan FT dari rumah tinggalnya bukan dilakukan oleh pihak kepolisian.
Namun oleh orang yang mengaku ajudan pelapor sehingga menjadi intimidasi bagi terlapor dan keluarganya. "Proses mediasi yang dijanjikan oleh pelapor di Polsek yang terjadi justru penahanan. Bahkan FT berkali-kali pindah Polsek, tanpa mengerti mengapa hal itu terjadi," ungkapnya.
Kemudian FT mendapatkan surat penahanan pada tanggal 04 Mei 2018 dari Polsek Pondok Gede, sementara sebelumnya FT dibawa ke Polsek Pinang Ranti, Polsek Kebayoran. Apalagi, FT tidak mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai dengan tanggal 6 Juni 2018 ketika LBH Apik memberikan penyuluhan di Rutan Pondok Bambu.
Padahal kondisinya yang buta hukum, rentan dan tengah hamil membutuhkan bantuan hukum untuk memastikan hak-haknya terpenuhi. "Kami menilai penyidik tidak cermat dalam menganalisa peristiwa hukum. Pengenaan pasal-pasal pidana terhadap sesorang haruslah diperhatikan dengan cermat oleh penyidik," tegasnya.
Menurutnya, penerapan Hukum Pidana terhadap kasus FT merupakan pelanggaran terhadap hak sipil dan politik seseorang, dimana seseorang tidak boleh dipenjara lantaran gagal memenuhi prestasi dalam perjanjian. Bahkan, melampaui dimensi hukum yang berbeda tanpa menghiraukan kompetensi hukumnya masing-masing.
DW merupakan istri seorang Jenderal berbintang satu di Mabes Polri. Kasus itu terjadi pada awal bulan Mei 2018 lalu.
"Kita hanya menerima pelimpahan kasus saja, pelaku (FT) ditangkap di Jakarta," ujar Kepala Sub Bagian (Kasubbag) Humas Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi Kota, Kompol Erna Ruswing Andari di Bekasi, Kamis 23 Agustus 2018.
Sebelum dilimpahkan ke Pondok Gede, kata dia, FT sempat ditahan di Polsek Pinang Ranti dan dipindahkan ke Polsek Kebayoran Baru. Sebab, FT sendiri berdomisili di wilayah hukum Kota Bekasi. Sehingga, berkas kasus dugaan penipuan tersebut dilimpahkan ke Bekasi.
Erna menjelaskan, penangkapan FT oleh polisi atas dasar laporan penipuan jual beli barang melalui media sosial. "Jualan baju, korban sudah membayar melalui rekening, namun barang yang dipesan tak kunjung datang. Selanjutnya, korban membuat laporan karena menjadi korban penipuan," katanya.
Kuasa Hukum FT, Uli Pangaribuan mengatakan, ada relasi kuasa yang timpang antara FT dan DW yang mempergunakan jabatan suaminya seorang Jenderal.
"Jika kami melihat hal ini ada peristiwa yang menggambarkan arogansi seseorang dan penggunaan kuasa untuk mempengaruhi proses penegakan hukum," kata Anggota LBH APIK Jakarta ini.
Menurutnya, tersangka FT merupakan seorang single parent atau janda. Saat itu, FT mempunyai usaha baju batik sejak tahum 2012 silam. Mulanya, FT membuka gerai batik di Thamrin City. Lantaran harga lapak yang mahal, FT kemudian beralih mempromosikan batik melalui media sosial.
Pada awal tahun 2018, hasil produksinya mendapatkan penghargaan dari Kementerian Perindustrian pada tahun 2018. Kronologis penangkapan terhadap FT berawal ketika dia mempromosikan garage sales untuk baju-baju batiknya, dan menerima pesanan dari DW yang merupakan isteri Jenderal bintang satu di Mabes Polri.
"DW memesan 10 baju batik senilai Rp2,5 juta. Namun, sampai pada tenggat waktu pengiriman barang FT tidak sanggup memenuhi pesanan dan bersedia mengembalikan dana pemesanan," jelasnya.
DW kemudian mengultimatum FT untuk mengembalikan dana pemesanan dalam waktu 1 jam setelah pembatalan tersebut.
Walau keluarga FT bersedia mengembalikan uang tersebut, DW melaporkan FT dengan tuduhan melakukan penipuan dan penggelapan. Polisi bertindak cepat dengan menangkap dan menahan FT. FT langsung dibawa ke Polsek Pinang Ranti, dipindahkan ke Polsek Kebayoran Baru dan selanjutnya dipindahkan ke Polsek Pondok Gede untuk BAP.
Setelah BAP, kata dia, FT dilakukan penahanan pada 4 Mei 2018 lalu dan dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu. Padahal, dihadapan penyidik FT telah menandatanggani surat kesanggupannya untuk mengembalikan dana tersebut. Bahkan, penjemputan FT dari rumah tinggalnya bukan dilakukan oleh pihak kepolisian.
Namun oleh orang yang mengaku ajudan pelapor sehingga menjadi intimidasi bagi terlapor dan keluarganya. "Proses mediasi yang dijanjikan oleh pelapor di Polsek yang terjadi justru penahanan. Bahkan FT berkali-kali pindah Polsek, tanpa mengerti mengapa hal itu terjadi," ungkapnya.
Kemudian FT mendapatkan surat penahanan pada tanggal 04 Mei 2018 dari Polsek Pondok Gede, sementara sebelumnya FT dibawa ke Polsek Pinang Ranti, Polsek Kebayoran. Apalagi, FT tidak mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai dengan tanggal 6 Juni 2018 ketika LBH Apik memberikan penyuluhan di Rutan Pondok Bambu.
Padahal kondisinya yang buta hukum, rentan dan tengah hamil membutuhkan bantuan hukum untuk memastikan hak-haknya terpenuhi. "Kami menilai penyidik tidak cermat dalam menganalisa peristiwa hukum. Pengenaan pasal-pasal pidana terhadap sesorang haruslah diperhatikan dengan cermat oleh penyidik," tegasnya.
Menurutnya, penerapan Hukum Pidana terhadap kasus FT merupakan pelanggaran terhadap hak sipil dan politik seseorang, dimana seseorang tidak boleh dipenjara lantaran gagal memenuhi prestasi dalam perjanjian. Bahkan, melampaui dimensi hukum yang berbeda tanpa menghiraukan kompetensi hukumnya masing-masing.
(mhd)