BMKG: Sangat Tidak Tepat Tuduhan Kualitas Udara Jakarta Buruk
A
A
A
JAKARTA - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menegaskan kualitas udara di Jakarta saat ini dalam kondisi sangat baik. Sangat tidak tepat adanya tuduhan Asian Games diawali oleh kualitas udara Jakarta yang buruk.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, Indonesia sudah sering dituding sebagai emitter gas rumah kaca (GRK) dan parahnya tingkat pencemaran udara. Namun penilaian dan penelitian lembaga ternama lainnya maupun data real GRK terukur di lapangan, membantah tudingan itu.
Demikian pula dalam hal pencemaran udara baru baru ini. Pemberitaan media Al Jazeera pada hari Jumat 17 Agustus 2018 yang bertajuk “Air pollution welcomes athletes in Jakarta for Asian Games“, bahkan menyatakan bahwa tingkat polusi udara di Jakarta telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.
"Dengan mengacu standar WHO, ada pihak pihak yang mengatakan pada beberapa hari tingkat polusi udara Jakarta lebih buruk dari pada Beijing, RRC," ujar Dwikorita Karnawati dalam keterangan persnya, Minggu (18/8/2018).
Pemberitaan BBC Indonesia juga menyebut Jelang Asian Games 2018, Jakarta jadi kota berpolusi udara 'paling parah' di dunia. Menurut mantan Rektor UGM itu, tuduhan polusi Jakarta terparah di dunia itu berbeda dengan apa yang dirilis The New York Times pada Juni 2017 lalu.
The New York Times menyebut ranking 10 negara terburuk dalam hal polusi adalah China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Arab Saudi, Korea Selatan dan Kanada.
Penelitian terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang kota-kota yang paling tercemar di dunia menunjukkan, dari 10 kota paling tercemar di dunia, sembilan di antaranya ada di India, dan satu di Kamerun.
"Jakarta atau Indonesia sendiri tidak termasuk di dalam negara-negara yang dirilis WHO dari paparan polusi udara dan dampak kesehatan," tegas Dwikorita.
Dwikorita melanjutkan, pada tahun 2004, Reuters juga pernah menurunkan tulisan yang menyebut Indonesia sebagai negara emitter (penyumbang emisi) terbesar ketiga dunia karena deforestasi, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan.
Tulisan tersebut didasarkan pada laporan penelitian yang dibuat oleh sebuah lembaga konsultan penelitian lingkungan Indonesia yang mendapat sponsor dari Bank Dunia dan British Development Arm.
10 tahun kemudian, tepatnya pada 2014, World Resources Institute (WRI) masih menempatkan Indonesia dalam urutan keenam yang menyumbang 4% dari total kumulatif emisi GRK dunia periode 1990-2011. Perhitungan total kumulatif GRK itu sudah menyertakan perubahan guna lahan dan kehutanan.
Namun tahun 2017 lalu, sebuah penelitian terbaru oleh Boden dkk yang berjudul National CO2 Emissions from Fossil-Fuel Burning, Cement Manufacture, and Gas Flaring yang diterbitkan oleh Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, U.S. Department of Energy, ternyata tidak menyertakan Indonesia di dalam enam negara emitter dunia terbesar.
Adapun enam negara penyumbang emisi dunia yang disebutkan oleh study tersebut yakni China, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, Federasi Rusia, dan Jepang.
Senada dengan paper ilmiah itu, laporan Climate Change Performance Index (2018) juga mengeluarkan Indonesia dari 10 besar penyumbang emisi terbesar dunia dan menempatkannya pada ranking 14.
Meskipun demikian, menurut laporan tersebut Indonesia masih diklasifikasikan sebagai negara berkinerja rendah di tahun 2018 ini. Sebab tren masa lalu dan status emisi GRK per kapita saat ini dinilai masih sangat rendah.
Secara bukti data pun hasil pengukuran GRK di Bukit Koto Tabang selama 14 tahun terakhir sejak tahun 2004, laju kenaikan CO2 di Indonesia adalah 1,94 ppm, tidak setinggi konsentrasi hasil pengukuran di Stasiun GAW Mauna Loa (USA). Bahkan masih di bawah kenaikan rata-rata global sebesar 2,08 ppm.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, Indonesia sudah sering dituding sebagai emitter gas rumah kaca (GRK) dan parahnya tingkat pencemaran udara. Namun penilaian dan penelitian lembaga ternama lainnya maupun data real GRK terukur di lapangan, membantah tudingan itu.
Demikian pula dalam hal pencemaran udara baru baru ini. Pemberitaan media Al Jazeera pada hari Jumat 17 Agustus 2018 yang bertajuk “Air pollution welcomes athletes in Jakarta for Asian Games“, bahkan menyatakan bahwa tingkat polusi udara di Jakarta telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.
"Dengan mengacu standar WHO, ada pihak pihak yang mengatakan pada beberapa hari tingkat polusi udara Jakarta lebih buruk dari pada Beijing, RRC," ujar Dwikorita Karnawati dalam keterangan persnya, Minggu (18/8/2018).
Pemberitaan BBC Indonesia juga menyebut Jelang Asian Games 2018, Jakarta jadi kota berpolusi udara 'paling parah' di dunia. Menurut mantan Rektor UGM itu, tuduhan polusi Jakarta terparah di dunia itu berbeda dengan apa yang dirilis The New York Times pada Juni 2017 lalu.
The New York Times menyebut ranking 10 negara terburuk dalam hal polusi adalah China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Arab Saudi, Korea Selatan dan Kanada.
Penelitian terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang kota-kota yang paling tercemar di dunia menunjukkan, dari 10 kota paling tercemar di dunia, sembilan di antaranya ada di India, dan satu di Kamerun.
"Jakarta atau Indonesia sendiri tidak termasuk di dalam negara-negara yang dirilis WHO dari paparan polusi udara dan dampak kesehatan," tegas Dwikorita.
Dwikorita melanjutkan, pada tahun 2004, Reuters juga pernah menurunkan tulisan yang menyebut Indonesia sebagai negara emitter (penyumbang emisi) terbesar ketiga dunia karena deforestasi, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan.
Tulisan tersebut didasarkan pada laporan penelitian yang dibuat oleh sebuah lembaga konsultan penelitian lingkungan Indonesia yang mendapat sponsor dari Bank Dunia dan British Development Arm.
10 tahun kemudian, tepatnya pada 2014, World Resources Institute (WRI) masih menempatkan Indonesia dalam urutan keenam yang menyumbang 4% dari total kumulatif emisi GRK dunia periode 1990-2011. Perhitungan total kumulatif GRK itu sudah menyertakan perubahan guna lahan dan kehutanan.
Namun tahun 2017 lalu, sebuah penelitian terbaru oleh Boden dkk yang berjudul National CO2 Emissions from Fossil-Fuel Burning, Cement Manufacture, and Gas Flaring yang diterbitkan oleh Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, U.S. Department of Energy, ternyata tidak menyertakan Indonesia di dalam enam negara emitter dunia terbesar.
Adapun enam negara penyumbang emisi dunia yang disebutkan oleh study tersebut yakni China, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, Federasi Rusia, dan Jepang.
Senada dengan paper ilmiah itu, laporan Climate Change Performance Index (2018) juga mengeluarkan Indonesia dari 10 besar penyumbang emisi terbesar dunia dan menempatkannya pada ranking 14.
Meskipun demikian, menurut laporan tersebut Indonesia masih diklasifikasikan sebagai negara berkinerja rendah di tahun 2018 ini. Sebab tren masa lalu dan status emisi GRK per kapita saat ini dinilai masih sangat rendah.
Secara bukti data pun hasil pengukuran GRK di Bukit Koto Tabang selama 14 tahun terakhir sejak tahun 2004, laju kenaikan CO2 di Indonesia adalah 1,94 ppm, tidak setinggi konsentrasi hasil pengukuran di Stasiun GAW Mauna Loa (USA). Bahkan masih di bawah kenaikan rata-rata global sebesar 2,08 ppm.
(thm)