Curhatan Mantan Direktur KBN, Naikkan Pendapatan Perusahaan Malah Dipermasalahkan
A
A
A
JAKARTA - Air susu dibalas dengan air tubah, Kebaikan dibalas dengan tindakan kejahatan, pepatah inilah yang dirasakan oleh salah seorang mantan Direktur di PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Teddy Robison Siahaan. Keberhasilannya meningkatkan pendapatan perusahaan malah ia dipolisikan oleh pihak KBN.
Teddy menceritakan, saat itu sekitar akhir tahun 2012 ia dipercaya oleh kementerian BUMN sebagai Direktur Pemasaran di KBN, yang bertugas dan bertanggung jawab tentang bagaimana meningkatkan pendapatan dan laba di KBN. Langkah pertama yang dilakukannya adalah dengan cara mengutilisasi aset-aset yang dimiliki KBN.
Karena kepercayaan yang diberi pemegang saham menjabat sebagai direktur pemasaran, ia pun memutar otak bagaimana cara untuk meningkatkan pendapatan dan laba. Tidak tinggal diam, lahan seluas kurang lebih 5 Ha di Tanjung Priok milik Pelindo II yang sudah disewa oleh KBN hingga 2023 ia manfaatkan demi meningkatkan pendapatan dan laba.
Sebelumnya lahan tersebut disewakan seharga 5 ribu per meter persegi per bulan dengan cara bayar setiap 3 bulan. Lahan itu relatif tidak terurus dengan baik. "Saya berpikir lahan ini bisa meningkatkan pendapatan. Kondisi eksisting pada saat itu lahan yang tersewa hanya 20 persen dan harga sewa hanya 5 ribu rupiah per meter persegi per bulan berupa tanah dan bangunan," ujarnya dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Senin (6/8/2018).
Saat itu ia beranggapan jika lahan dirubah peruntukan menjadi Tempat Penumpukan Sementara (TPS) maka harga akan menjadi bagus. Sebab saat itu lahan area berikat kurang diminati , terbukti occupancy lahan hanya 20 persen.
"Kemudian saya menjajaki dan berdiskusi dengan pihak Bea Cukai dan mengusulkan perubahan lahan dari bonded area menjadi area umum untuk TPS. Prinsipnya, pihak Bea Cukai setuju untuk mengeluarkan sebagian lahan dari berikat menjadi non berikat," jelasnya.
Hanya saja, kata Teddy, untuk merubah bonded area menjadi non berikat, pihak Bea Cukai mensyaratkan harus membangun lantainisasi atau flooring terlebih dahulu. Setelah itu baru dikeluarkan perubahan dari berikat menjadi non berikat.
"Atas dasar itu saya usulkan dalam rapat direksi agar sebagian lahan berikat dirubah menjadi lahan penumpukan untuk TPS agar pendapatan dari lahan tersebut meningkat. Dalam rapat tersebut, seluruh direksi setuju atas usulan saya. Kemudian langkah saya berikutnya ada mencari calon penyewa yang berminat. Dengan memasang iklan di beberapa koran. Setelah itu saya ketemu banyak calon penyewa dan saya mulai memfilter," ungkapnya.
Singkat cerita, setelah melalui proses yang panjang, kata Teddy, ada enam calon penyewa yang berminat, dan bersedia menyewa lahan dengan harga Rp35 ribu per meter persegi. Jalan dalam lingkungan kawasan juga dibayar sewanya secara proporsional (tergantung luas lahan yang disewa oleh masing masing penyewa) dengan cara pembayaran setiap tiga bulan di depan.
Ini suatu peningkatan luar biasa, dimana tarif dari 5 ribu rupiah menjadi 35 ribu. Artinya terjadi kenaikan tarif 700 persen. Seharusnya, kata dia, ini prestasi dan mendapat penghargaan.
Kemudian setelah itu disepakati dan dibuat MoU, para penyewa membayar sewa tiga bulan di depan sesuai dengan ketentuan yang ada di KBN. Namun tidak lama kemudian, direktur utama dalam rapat direksi menyampaikan bahwa dalam hal meningkatkan pendapatan dan laba yang signifikan agar diupayakan pengakuan sewa diakui sekaligus di depan hingga masa berakhir kontrak tahun 2023.
Saat itu, kata dia, Dirut KBN meminta direktur keuangan dan dirinya selaku direktur pemasaran berdiskusi dengan Kantor Akuntan Publik (KAP) terkait hal ini. Setelah bertemu dengan KAP, pihak KAP menyatakan diperbolehkan pengakuan sekaligus di muka dengan syarat pembayaran sewa minimal 20 persen dari total sewa 10 tahun.
"Kemudian setelah itu saya dengan direktur keuangan menyampaikan hasil pertemuan dengan KAP dalam rapat direksi, dan direksi menyetujinya. Tindak lanjutnya, saya mengundang seluruh tenan dan menyampaikan keputusan direksi agar pembayaran DP 20 persen dari total masa sewa," katanya.
Awalnya seluruh tenan keberatan, karena hal ini sangat di luar yang normal. Apalagi biaya yang harus mereka keluarkan sangat besar. Akibatnya dana cadangan penyewa (tenan) yang tadinya untuk lantainisasi menjadi tergerus untuk membayar DP sewa lahan sebesar 20 persen dari total masa sewa 10 tahun. Di akhir pertemuan dengan tenan, para tenan melunak dan setuju dengan DP 20 persen dengan catatan dicarikan pendana untuk lantainisasi.
Kemudian hal tersebut ia laporkan dalam rapat direksi, dan keputusan direksi menyetujui untuk membantu mencari pendanaan perbankan bagi tenan. Selanjutnya ia mengundang pihak bank. Namun seluruh bank yang diundang tidak bersedia memberikan kredit karena tidak ada agunan atau kolateral. Para penyewa atau tenan tidak ada yang bersedia memberikan agunan karena hal tersebut dianggap tidak wajar.
"Kemudian saya laporkan dalam rapat direksi, dan direksi memutuskan agar direksi membantu mencari pendana non bank," cetusnya.
Tak lama setelah itu, Teddy akhirnya bertemu dengan calon investor yang akan kerja sama dengan KBN membangun power plan. Setelah ia jelaskan terkait kendala penyewa dan demi menjaga hubungan baik dengan KBN, akhirnya PT Kakiatna Energi (KE) bersedia membantu para penyewa dengan memberi pinjaman dengan biaya bunga sangat murah, sama seperti bunga deposito bank.
"Pendana yaitu KE, para penyewa dan semua direksi sepakat, dan dibuatlah kesepakatan atau perjanjian antara KE, KBN dan para penyewa.
Namun kemudian, karena rencana kerja sama KE dengan KBN batal, KE mengundurkan diri sebagai pendana dan meminta agar dana yang telah disetorkan membantu lantainisasi dikembalikan dengan tanpa bunga.
"Perlu saya tambahkan bahwa sembari mencari pendanaan saya meminta kepada para penyewa agar mencari kontraktor. Pada waktu saya izin cuti karena menyelesaikan studi di Amerika. Dirut KBN menandatangani kesepakatan dengan para penyewa (tenan) bahwa KBN yang mencari dana dan kontraktornya adalah Nyndya Karya dengan nilai pembangunan sebesar Rp55 miliar," jelasnya.
Setelah kembali dari Amerika, lanjut Teddy, ia diminta Dirut KBN mengundang para penyewa dan menjelaskan nilai kontrak lantainisasi sebesar Rp55 miliar dan dana dibantu oleh KBN dengan kontraktor Nyndya Karya (NK). Namun seluruh penyewa menolak dengan alasan harga lantainisasi sebesar Rp55 miliar sangat mahal.
"Kemudian saya minta kepada seluruh penyewa agar mencari kontraktor sendiri. Kemudian ada salah satu penyewa membawa calon kontraktor dengan harga Rp48 miliar dan berdiskusi dengan saya dan direktur keuangan. Namun sebagian penyewa tetap merasa masih terlalu mahal apalagi calon kontraktor tersebut tidak mampu dengan waktu pengerjaan 3 bulan," jelasnya.
Kemudian seluruh penyewa meminta bantuannya untuk mencarikan calon kontraktor. Ia lalu memperkenalkan calon kontraktor kepada para penyewa dan seluruh penyewa sepakat menggunakan kontraktor tersebut yaitu PT Toton Cita Abadi (TCA), dengan pertimbangan bahwa harga relatif jauh lebih rendah yaitu Rp39 miliar dan disetujui seluruh penyewa dan pembangunannya disanggupi tiga bulan.
Selanjutnya dilakukan penandatanganan Surat Perintah Kerja (SPK) antara masing masing Penyewa dengan TCA. Setelah penetapan kontraktor, TCA mulai melakukan pekerjaan pembangunan lantainisasi dan KE selaku pendana telah mengucurkan biaya sebesar kurang lebih Rp5 miliar untuk progres awal.
Namun karena KE mundur sebagai pendana (akibat batalnya kerja sama dengan KBN), Teddy melaporkan dalam rapat direksi. Atas hal tersebut semua direksi mencari calon pengganti pendana. Akibat berhentinya pendanaan, maka pembangunan sempat terhenti.
Sampai akhirnya Dirut KBN bertelepon dengan pihak Karya Technik Grup (KTG) dan memohon agar KTG bersedia menggantikan posisi KE sebagai pendana. Setelah itu ia bertemu dengan Direksi KTM (anak perusahaan KTG) agar bersedia mendanai (sebagai pengganti KE) melanjutkan lantainisasi.
"Setelah terjadi kesepakatan, maka saya selaku Direktur Pemasaran membatalkan Perjanjian antara KBN dengan KE, dan menerbitkan Perjanjian antara KBN dengan KTM sebagai pendana (pengganti KE). Melalui KTM, dibayarlah dan dikembalikanlah duit KE yang sudah disetor oleh KE untuk pembangunan dan kemudian KTM melanjutkan pendanaan pembangunan tersebut," ucapnya.
Setelah itulah kata Teddy, persoalan mulai muncul. Ppada waktu ia mengundurkan diri sebagai Direktur Pemasaran untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan jabatan direktur pemasaran dirangkap oleh dirut yang saat itu dijabat oleh Sattar Taba.
Dirut KBN tidak mengakui bahwa KTM sebagai pendana pembangunan lantainisasi penggati KE. Dirut KBN tidak bersedia memfasilitasi pertemuan antara KTM dengan para penyewa terkait pembayaran hutang Para Penyewa kepada KTM.
"Sebelum saya mengundurkan diri, sudah beberapa kali melakukan pertemuan dengan para penyewa dengan KTM, dan sudah dibuat draft perubahan perjanjian agar KTM membuat perjanjian langsung dengan para penyewa. Namun hal tersebut tidak berlanjut, dan terkesan direktur utama tidak bersedia memfasilitasi pertemuan tersebut yang sudah hampir final," paparnya.
Menurut Teddy, Dirut KBN juga tidak mengakui perjanjian tersebut dengan berdalih bahwa hal itu bukan urusan KBN lagi. Karena menurut mereka yang harus menandatangani surat itu adalah dirut KBN, bukan direktur pemasaran.
"Nah di sinilah mulai permasalahan. Dirut tidak mengakui bahwa dia setuju untuk mencari pendanaan dari PT KTM. Kemudian dia berkilah seharusnya yang tanda tangan Dirut KBN," katanya.
Karena tanda tangan direktur pemasaran itulah jadi masalah, hingga pihak PT KTM tidak dibayar. Dan gara-gara itu ia diilaporkan ke KPK. Ia dimintai keterangan KPK selama dua bulan terkait hal ini. Namun terbukti tidak ada unsur kerugian negara, dan tidak ada suap dan pembangunan selesai dengan baik dan tepat waktu serta kualitas baik. Setelah selesai dari KPK, pihak PT KTM membuat laporan ke Pidum, Bareskrim Polri.
"Pada bulan Maret 2018 saya dan KTM dilaporkan ke Direktorat Tindak Pindana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim. Dua kali saya dipanggil Bareskrim Tipikor, semua dipanggil begitu juga kontraktor, para penyewa, dan juga KTM. Namun yang dipersangkakan tidak ditemukan," katanya.
Ia mengaku sudah beberapa kali meminta waktu kepada Sekretaris Menteri BUMN dan juga telah mengirimkan surat agar diberi kesempatan memberikan informasi yang seimbang. Namun hingga kini Sekretaris Menteri BUMN tidak memberikan kesempatan.
"Sangat saya sayangkan. Harusnya Sekretaris Menteri menerima dan mendengarkan penjelasan saya, namun tidak terjadi. Saya sangat menyesalkan hal tersebut, tutup Teddy.
Teddy menceritakan, saat itu sekitar akhir tahun 2012 ia dipercaya oleh kementerian BUMN sebagai Direktur Pemasaran di KBN, yang bertugas dan bertanggung jawab tentang bagaimana meningkatkan pendapatan dan laba di KBN. Langkah pertama yang dilakukannya adalah dengan cara mengutilisasi aset-aset yang dimiliki KBN.
Karena kepercayaan yang diberi pemegang saham menjabat sebagai direktur pemasaran, ia pun memutar otak bagaimana cara untuk meningkatkan pendapatan dan laba. Tidak tinggal diam, lahan seluas kurang lebih 5 Ha di Tanjung Priok milik Pelindo II yang sudah disewa oleh KBN hingga 2023 ia manfaatkan demi meningkatkan pendapatan dan laba.
Sebelumnya lahan tersebut disewakan seharga 5 ribu per meter persegi per bulan dengan cara bayar setiap 3 bulan. Lahan itu relatif tidak terurus dengan baik. "Saya berpikir lahan ini bisa meningkatkan pendapatan. Kondisi eksisting pada saat itu lahan yang tersewa hanya 20 persen dan harga sewa hanya 5 ribu rupiah per meter persegi per bulan berupa tanah dan bangunan," ujarnya dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Senin (6/8/2018).
Saat itu ia beranggapan jika lahan dirubah peruntukan menjadi Tempat Penumpukan Sementara (TPS) maka harga akan menjadi bagus. Sebab saat itu lahan area berikat kurang diminati , terbukti occupancy lahan hanya 20 persen.
"Kemudian saya menjajaki dan berdiskusi dengan pihak Bea Cukai dan mengusulkan perubahan lahan dari bonded area menjadi area umum untuk TPS. Prinsipnya, pihak Bea Cukai setuju untuk mengeluarkan sebagian lahan dari berikat menjadi non berikat," jelasnya.
Hanya saja, kata Teddy, untuk merubah bonded area menjadi non berikat, pihak Bea Cukai mensyaratkan harus membangun lantainisasi atau flooring terlebih dahulu. Setelah itu baru dikeluarkan perubahan dari berikat menjadi non berikat.
"Atas dasar itu saya usulkan dalam rapat direksi agar sebagian lahan berikat dirubah menjadi lahan penumpukan untuk TPS agar pendapatan dari lahan tersebut meningkat. Dalam rapat tersebut, seluruh direksi setuju atas usulan saya. Kemudian langkah saya berikutnya ada mencari calon penyewa yang berminat. Dengan memasang iklan di beberapa koran. Setelah itu saya ketemu banyak calon penyewa dan saya mulai memfilter," ungkapnya.
Singkat cerita, setelah melalui proses yang panjang, kata Teddy, ada enam calon penyewa yang berminat, dan bersedia menyewa lahan dengan harga Rp35 ribu per meter persegi. Jalan dalam lingkungan kawasan juga dibayar sewanya secara proporsional (tergantung luas lahan yang disewa oleh masing masing penyewa) dengan cara pembayaran setiap tiga bulan di depan.
Ini suatu peningkatan luar biasa, dimana tarif dari 5 ribu rupiah menjadi 35 ribu. Artinya terjadi kenaikan tarif 700 persen. Seharusnya, kata dia, ini prestasi dan mendapat penghargaan.
Kemudian setelah itu disepakati dan dibuat MoU, para penyewa membayar sewa tiga bulan di depan sesuai dengan ketentuan yang ada di KBN. Namun tidak lama kemudian, direktur utama dalam rapat direksi menyampaikan bahwa dalam hal meningkatkan pendapatan dan laba yang signifikan agar diupayakan pengakuan sewa diakui sekaligus di depan hingga masa berakhir kontrak tahun 2023.
Saat itu, kata dia, Dirut KBN meminta direktur keuangan dan dirinya selaku direktur pemasaran berdiskusi dengan Kantor Akuntan Publik (KAP) terkait hal ini. Setelah bertemu dengan KAP, pihak KAP menyatakan diperbolehkan pengakuan sekaligus di muka dengan syarat pembayaran sewa minimal 20 persen dari total sewa 10 tahun.
"Kemudian setelah itu saya dengan direktur keuangan menyampaikan hasil pertemuan dengan KAP dalam rapat direksi, dan direksi menyetujinya. Tindak lanjutnya, saya mengundang seluruh tenan dan menyampaikan keputusan direksi agar pembayaran DP 20 persen dari total masa sewa," katanya.
Awalnya seluruh tenan keberatan, karena hal ini sangat di luar yang normal. Apalagi biaya yang harus mereka keluarkan sangat besar. Akibatnya dana cadangan penyewa (tenan) yang tadinya untuk lantainisasi menjadi tergerus untuk membayar DP sewa lahan sebesar 20 persen dari total masa sewa 10 tahun. Di akhir pertemuan dengan tenan, para tenan melunak dan setuju dengan DP 20 persen dengan catatan dicarikan pendana untuk lantainisasi.
Kemudian hal tersebut ia laporkan dalam rapat direksi, dan keputusan direksi menyetujui untuk membantu mencari pendanaan perbankan bagi tenan. Selanjutnya ia mengundang pihak bank. Namun seluruh bank yang diundang tidak bersedia memberikan kredit karena tidak ada agunan atau kolateral. Para penyewa atau tenan tidak ada yang bersedia memberikan agunan karena hal tersebut dianggap tidak wajar.
"Kemudian saya laporkan dalam rapat direksi, dan direksi memutuskan agar direksi membantu mencari pendana non bank," cetusnya.
Tak lama setelah itu, Teddy akhirnya bertemu dengan calon investor yang akan kerja sama dengan KBN membangun power plan. Setelah ia jelaskan terkait kendala penyewa dan demi menjaga hubungan baik dengan KBN, akhirnya PT Kakiatna Energi (KE) bersedia membantu para penyewa dengan memberi pinjaman dengan biaya bunga sangat murah, sama seperti bunga deposito bank.
"Pendana yaitu KE, para penyewa dan semua direksi sepakat, dan dibuatlah kesepakatan atau perjanjian antara KE, KBN dan para penyewa.
Namun kemudian, karena rencana kerja sama KE dengan KBN batal, KE mengundurkan diri sebagai pendana dan meminta agar dana yang telah disetorkan membantu lantainisasi dikembalikan dengan tanpa bunga.
"Perlu saya tambahkan bahwa sembari mencari pendanaan saya meminta kepada para penyewa agar mencari kontraktor. Pada waktu saya izin cuti karena menyelesaikan studi di Amerika. Dirut KBN menandatangani kesepakatan dengan para penyewa (tenan) bahwa KBN yang mencari dana dan kontraktornya adalah Nyndya Karya dengan nilai pembangunan sebesar Rp55 miliar," jelasnya.
Setelah kembali dari Amerika, lanjut Teddy, ia diminta Dirut KBN mengundang para penyewa dan menjelaskan nilai kontrak lantainisasi sebesar Rp55 miliar dan dana dibantu oleh KBN dengan kontraktor Nyndya Karya (NK). Namun seluruh penyewa menolak dengan alasan harga lantainisasi sebesar Rp55 miliar sangat mahal.
"Kemudian saya minta kepada seluruh penyewa agar mencari kontraktor sendiri. Kemudian ada salah satu penyewa membawa calon kontraktor dengan harga Rp48 miliar dan berdiskusi dengan saya dan direktur keuangan. Namun sebagian penyewa tetap merasa masih terlalu mahal apalagi calon kontraktor tersebut tidak mampu dengan waktu pengerjaan 3 bulan," jelasnya.
Kemudian seluruh penyewa meminta bantuannya untuk mencarikan calon kontraktor. Ia lalu memperkenalkan calon kontraktor kepada para penyewa dan seluruh penyewa sepakat menggunakan kontraktor tersebut yaitu PT Toton Cita Abadi (TCA), dengan pertimbangan bahwa harga relatif jauh lebih rendah yaitu Rp39 miliar dan disetujui seluruh penyewa dan pembangunannya disanggupi tiga bulan.
Selanjutnya dilakukan penandatanganan Surat Perintah Kerja (SPK) antara masing masing Penyewa dengan TCA. Setelah penetapan kontraktor, TCA mulai melakukan pekerjaan pembangunan lantainisasi dan KE selaku pendana telah mengucurkan biaya sebesar kurang lebih Rp5 miliar untuk progres awal.
Namun karena KE mundur sebagai pendana (akibat batalnya kerja sama dengan KBN), Teddy melaporkan dalam rapat direksi. Atas hal tersebut semua direksi mencari calon pengganti pendana. Akibat berhentinya pendanaan, maka pembangunan sempat terhenti.
Sampai akhirnya Dirut KBN bertelepon dengan pihak Karya Technik Grup (KTG) dan memohon agar KTG bersedia menggantikan posisi KE sebagai pendana. Setelah itu ia bertemu dengan Direksi KTM (anak perusahaan KTG) agar bersedia mendanai (sebagai pengganti KE) melanjutkan lantainisasi.
"Setelah terjadi kesepakatan, maka saya selaku Direktur Pemasaran membatalkan Perjanjian antara KBN dengan KE, dan menerbitkan Perjanjian antara KBN dengan KTM sebagai pendana (pengganti KE). Melalui KTM, dibayarlah dan dikembalikanlah duit KE yang sudah disetor oleh KE untuk pembangunan dan kemudian KTM melanjutkan pendanaan pembangunan tersebut," ucapnya.
Setelah itulah kata Teddy, persoalan mulai muncul. Ppada waktu ia mengundurkan diri sebagai Direktur Pemasaran untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan jabatan direktur pemasaran dirangkap oleh dirut yang saat itu dijabat oleh Sattar Taba.
Dirut KBN tidak mengakui bahwa KTM sebagai pendana pembangunan lantainisasi penggati KE. Dirut KBN tidak bersedia memfasilitasi pertemuan antara KTM dengan para penyewa terkait pembayaran hutang Para Penyewa kepada KTM.
"Sebelum saya mengundurkan diri, sudah beberapa kali melakukan pertemuan dengan para penyewa dengan KTM, dan sudah dibuat draft perubahan perjanjian agar KTM membuat perjanjian langsung dengan para penyewa. Namun hal tersebut tidak berlanjut, dan terkesan direktur utama tidak bersedia memfasilitasi pertemuan tersebut yang sudah hampir final," paparnya.
Menurut Teddy, Dirut KBN juga tidak mengakui perjanjian tersebut dengan berdalih bahwa hal itu bukan urusan KBN lagi. Karena menurut mereka yang harus menandatangani surat itu adalah dirut KBN, bukan direktur pemasaran.
"Nah di sinilah mulai permasalahan. Dirut tidak mengakui bahwa dia setuju untuk mencari pendanaan dari PT KTM. Kemudian dia berkilah seharusnya yang tanda tangan Dirut KBN," katanya.
Karena tanda tangan direktur pemasaran itulah jadi masalah, hingga pihak PT KTM tidak dibayar. Dan gara-gara itu ia diilaporkan ke KPK. Ia dimintai keterangan KPK selama dua bulan terkait hal ini. Namun terbukti tidak ada unsur kerugian negara, dan tidak ada suap dan pembangunan selesai dengan baik dan tepat waktu serta kualitas baik. Setelah selesai dari KPK, pihak PT KTM membuat laporan ke Pidum, Bareskrim Polri.
"Pada bulan Maret 2018 saya dan KTM dilaporkan ke Direktorat Tindak Pindana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim. Dua kali saya dipanggil Bareskrim Tipikor, semua dipanggil begitu juga kontraktor, para penyewa, dan juga KTM. Namun yang dipersangkakan tidak ditemukan," katanya.
Ia mengaku sudah beberapa kali meminta waktu kepada Sekretaris Menteri BUMN dan juga telah mengirimkan surat agar diberi kesempatan memberikan informasi yang seimbang. Namun hingga kini Sekretaris Menteri BUMN tidak memberikan kesempatan.
"Sangat saya sayangkan. Harusnya Sekretaris Menteri menerima dan mendengarkan penjelasan saya, namun tidak terjadi. Saya sangat menyesalkan hal tersebut, tutup Teddy.
(thm)