Mitra Jadi Terduga Teroris, Grab Diminta Benahi Sistem Perekrutan
A
A
A
JAKARTA - Perusahaan aplikator penyedia jasa ride-hailing, Grab, diminta membenahi sistem perekrutan mitra pengemudi. Hal ini menyusul penangkapan terhadap salah satu mitra pengemudinya bernama Joko alias Abu Jalal (40) karena diduga sebagai teroris.
Polisi sebelumnya sudah memastikan terduga teroris Joko merupakan mitra pengemudi Grab. Hal ini dinilai tak lepas dari sistem perekrutan mitra pengemudi di perusahaan yang berpusat di Malaysia itu terlalu longgar.
Pengamat teroris, Ridlwan Habib, mengatakan, seorang tanpa catatan hukum atau bukan mantan narapidana (napi) teroris memang menjadi kekhawatiran karena sulit terdeteksi, Seperti terjadi di Grab.
"Akan lebih mudah terdeteksi jika dia mantan napi teroris atau pernah ada catatan hukum," ungkapnya dalam keterangan persnya, Minggu (22/7/2018).
Menurut dia, perusahaan termasuk aplikator seperti Grab, semestinya turut menjaga kredibilitas para mitra. Bebagai cara bisa ditempuh untuk menjaga kredibilitas para mitra itu.
Misalnya membangun kode etik dan mematuhi segala hal terkait, termasuk ideologi Pancasila."Di awal, itu bisa terlihat sejak proses perekrutan. Misalnya saat wawancara, lakukan verifikasi, banyak hal akan terlihat," kata Ridlwan.
Kabiro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen M Iqbal, sebelumnya membenarkan tentang penangkapan Joko di kawasan Proliman, Jalan Jogja-Solo, Desa Tamanmartani, Kalasan, Sleman, pada Rabu (18/7/2018) lalu.
Dalam laporan kronologis disebutkan, Joko berprofesi jualan es dawet dan bekerja sebagai ojek online Grab. Dia beralamat di Karangmojo, Taman Martani, Kalasan, Sleman.
Densus 88 AT Mabes Polri berjumlah 20 orang juga menggeledah rumah Joko dan menemukan buku-buku tentang jihad dan sebilah pedang.
Pasca penangkapan, komentar netizen mulai bermunculan. Mereka mengkritisi Grab, terutama dari proses perekrutan yang dianggap kurang serius.
Polisi sebelumnya sudah memastikan terduga teroris Joko merupakan mitra pengemudi Grab. Hal ini dinilai tak lepas dari sistem perekrutan mitra pengemudi di perusahaan yang berpusat di Malaysia itu terlalu longgar.
Pengamat teroris, Ridlwan Habib, mengatakan, seorang tanpa catatan hukum atau bukan mantan narapidana (napi) teroris memang menjadi kekhawatiran karena sulit terdeteksi, Seperti terjadi di Grab.
"Akan lebih mudah terdeteksi jika dia mantan napi teroris atau pernah ada catatan hukum," ungkapnya dalam keterangan persnya, Minggu (22/7/2018).
Menurut dia, perusahaan termasuk aplikator seperti Grab, semestinya turut menjaga kredibilitas para mitra. Bebagai cara bisa ditempuh untuk menjaga kredibilitas para mitra itu.
Misalnya membangun kode etik dan mematuhi segala hal terkait, termasuk ideologi Pancasila."Di awal, itu bisa terlihat sejak proses perekrutan. Misalnya saat wawancara, lakukan verifikasi, banyak hal akan terlihat," kata Ridlwan.
Kabiro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen M Iqbal, sebelumnya membenarkan tentang penangkapan Joko di kawasan Proliman, Jalan Jogja-Solo, Desa Tamanmartani, Kalasan, Sleman, pada Rabu (18/7/2018) lalu.
Dalam laporan kronologis disebutkan, Joko berprofesi jualan es dawet dan bekerja sebagai ojek online Grab. Dia beralamat di Karangmojo, Taman Martani, Kalasan, Sleman.
Densus 88 AT Mabes Polri berjumlah 20 orang juga menggeledah rumah Joko dan menemukan buku-buku tentang jihad dan sebilah pedang.
Pasca penangkapan, komentar netizen mulai bermunculan. Mereka mengkritisi Grab, terutama dari proses perekrutan yang dianggap kurang serius.
(thm)