Raih Doktor Pertama Ilmu Kepolisian, Ini Desertasi Kompol Ahrie

Minggu, 10 Juni 2018 - 23:30 WIB
Raih Doktor Pertama...
Raih Doktor Pertama Ilmu Kepolisian, Ini Desertasi Kompol Ahrie
A A A
JAKARTA - Intitusi Polri patut berbangga hati. Salah satu Bhayangkaranya kini bergelar Doktor Ilmu Kepolisian. Perwira Menengah (Pamen) Polri, Kompol Ahrie Sonta, berhasil meraih gelar promosi pertama Program Pascasarjana Doktoral Ilmu Kepolisian di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada Kamis 7 Juni 2018.

Lantas apa hasil desertasi Ahrie sehingga bisa meyakinkan 11 penguji. Dalam disertasi Ahrie mencoba membangun formula reformasi budaya (kultural) dalam organisasi kepolisian. Khususnya di kepolisian tingkat resor sebagai basic police unit yang berhadapan langsung dengan pelayanan masyarakat.

Bagi Polri, perubahan budaya merupakan suatu keniscayaan, yakni sebagai bagian dari reformasi kepolisian pasca pemisahan dengan militer (ABRI pada masa Orde Baru) sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 2/1999.

Reformasi kepolisian itu sendiri secara lengkapnya mencakup reformasi struktural, instrumental, dan kultural. Sejauh ini, reformasi struktural dan instrumental dinilai telah berhasil. Sementara itu, reformasi kultural masih menjadi suatu persoalan yang dihadapi kepolisian Indonesia, yang membedakannya dari reformasi birokrasi kepolisian yang telah berhasil dilakukan di negara-negara lain.

Sementara itu, reformasi kultural masih menjadi suatu persoalan yang dihadapi kepolisian Indonesia. Perbedaannya dari reformasi birokrasi kepolisian, telah berhasil dilakukan di negara-negara lain.

Adapun negara-negara yang telah berhasil mengatasi masalah kultural ini, misalnya Singapura, Hongkong, dan kepolisian di New South Wales Australia.

“Dengan melihat berbagai faktor kondisi antara lembaga kepolisian satu dengan yang lain, pendekatan atau formula pengentasan masalah kultural ini tidak dapat ditempuh dengan jalan yang sama," ujar sang Doktor Ilmu Kepolisian itu.

Dalam desertasinya, Ahrie juga membangun model penguatan budaya etika kepolisian dengan pendekatan habitus. Ia membedah kultural dengan mempertemukan ‘agen’ (individu) dan ‘struktur’, yang kemudian dalam konteks organisasional dibedah dengan formula budaya etika.

Sejumlah akademisi kenamaan turut terlibat dalam mensukseskan disertasinya ini, antara lain Haryatmoko, yang dikenal banyak menyumbangkan pemikiran kritisnya dalam bidang filsafat, sosial politik, etika dan komunikasi.

Haryatmoko mengatakan bahwa karya disertasi ini mampu memberikan solusi kongkrit. “Salah satu solusi yang ditelurkan riset promovendus Ahrie Sonta adalah program salute to service,” katanya.

Program ‘salute to service’ bisa diselenggarakan oleh pemerintah, pihak swasta atau perusahaan, atau komunitas masyarakat. Yakni, sebagai simbol rasa terima kasih kepada lembaga kepolisian yang telah menyumbang peranan penting di masyarakat.

“Hal ini membangun hubungan civil society antara kepolisian dan masyarakat secara lebih baik, sehingga ada kontrol positif masyarakat terhadap potensi tindakan negatif yang dilakukan oleh oknum anggota polisi,” ucap pamen yang bertugas di Mabes Polri ini.

Sementara itu, cendekiawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo mengatakan, adanya doktor ilmu kepolisian ini harusnya menjadi tonggak sejarah baru bagi institusi kepolisian.

“Produk doktor pertama ilmu kepolisian STIK ini bisa menjadi role model polisi masa depan. Pengetahuan dan integritas akademik yang dipadukan dengan kemampuan teknis operasional lapangan akan membuat Dr Ahrie Sonta menjadi model polisi masa depan,” kata cendekiawan yang akrab disapa Kikiek ini, saat ditemui seusai sidang doktoral di PTIK.

Kikiek yang juga dikenal sebagai pakar anti terorisme ini berharap Kapolri Tito Karnavian yang juga bergelar doktor, memberi apresiasi kepada anak buahnya ini.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1146 seconds (0.1#10.140)