Menengok Yayasan Pencetak Pertama Alquran Braile Sistem Komputerisasi

Rabu, 30 Mei 2018 - 19:25 WIB
Menengok Yayasan Pencetak...
Menengok Yayasan Pencetak Pertama Alquran Braile Sistem Komputerisasi
A A A
TANGERANG SELATAN - Kitab Alquran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup akhir zaman. Sebagai pemeluk agama Islam, tentunya sudah menjadi kewajiban bagi umat Nabi Muhammad SAW mempelajari dan memahami kitab sucinya.

Untuk kita yang memiliki fisik sempurna, tentu sangat sederhana dalam memperlajarinya. Namun berbeda bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik, seperti dialami kalangan tunanetra. Butuh media khusus yang memudahkannya dalam membaca tulisan di dalam kitab suci Alquran.

Sesuatu yang luar biasa ditunjukkan sebuah yayasan tunanetra 'Raudlatul Makfufin', di Jalan H Jamat, Gang Masjid Nomor 10A, RT 02 RW 05, Buaran, Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel). Di sana, para santri dan pengurus asrama mampu memelopori pembuatan Alquran braile dengan sistem komputerisasi pertama bagi kalangan tunanetra.

Sekretaris yayasan Raudlatul Makfufin, Rafik Akbar (28), menuturkan sejarah singkat pendirian yayasan tempatnya kini mengabdi, hingga melahirkan karya berupa Alquran braile yang menggunakan sistem komputerisasi pertama di Indonesia

"Raudlatul Makfufin itu artinya taman tunanetra. Berdirinya pada tanggal 26 November 1983 di daerah Pulo Gadung, Jakarta Timur. Salah satu pendirinya, adalah almarhum ustad Sholeh," tuturnya, Rabu (30/5/2018).

"Jadi terbentuknya yayasan ini, sebetulnya berangkat dari keprihatinan almarhum (Ustaz Sholeh) dari kondisi teman-teman tunanetra muslim yang belum bisa membaca Alquran dan belum memiliki Alquran braile. Lalu beliau membentuk majelis taklim tunanetra dari rumah ke rumah, hingga terbentuklah yayasan ini pada tahun itu," tambah alumnus Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta tersebut.

Ditengah perkembangannya, sambung Rafik, almarhum ustad Sholeh berupaya agar yayasan yang berisi santri-santri tunanetra itu mampu menciptakan sendiri Alquran braile. Rencana tersebut berlanjut, hingga melahirkan pembentukan satu tim entry data yang bertugas membuat file master Alquran braile pada tahun 1994.

"Jadi tahun 1994 ada satu tim yang membuat file master Alquran braile, dan selesai tahun 1999. Kemudian di tahun 2000, bisa kita launching pertama kali Alquran braile cetakan sendiri dengan sistem komputerisasi. Di zaman itu, kita lah yang pertama kali di Indonesia mencetak Alquran braile dengan komputerisasi, di launching di Ponpes Assyafiiyah bekerjasama dengan almarhumah Ustazah Tuty Alawiyah," jelas Rafik.

Hingga saat ini, menurut dia, yayasan Raudlatul Makfufin mampu memproduksi Alquran braile 5 set setiap harinya, dimana 1 setnya berjumlah 30 juz Alquran. Semua Alquran itu, nantinya akan dikirim ke pemesan di seluruh wilayah Indonesia, bahkan hingga luar negeri.

"Semuanya dikerjakan di yayasan ini, jadi percetakannya ada di ruang belakang, ada timnya sendiri. Kita ada 4 unit mesin, 1 unit hibah dari Departemen Agama, 1 unit lainnya kita pinjam dari lembaga lain," terangnya.Yayasan tunanetra Raudlatul Makfufin sempat berpindah-pindah tempat. Terakhir, yayasan itu mendiami suatu bangunan di daerah Ciputat, sampai akhirnya kembali pindah ke lokasi terakhir di Jalan H Jamat, Serpong. Di lokasi saat ini, yayasan Raudlatul Makfufin berdiri diatas lahan wakaf seluas 1000 meter persegi, dengan luas bangunan sekira 600 meter persegi.

Kini, ada 15 santri dengan 5 pengurus dan karyawan yang tinggal di asrama. Semuanya dengan kondisi keterbatasan fisik yang sama (tunanetra). Ada banyak kegiatan rutin yang dilakukan oleh santri ataupun pengurus yayasan, diantaranya adalah pendidikan materi layaknya sekolah umum, hafalan Alquran, majelis taklim, serta memproduksi Alquran braile.

"Gurunya ada kurang lebih 22 orang, semua berasal dari Ponpes disekitar Tangsel. Jadi mereka mau bantu untuk mengajar santri disini," ucapnya.

Sayangnya, semangat luar biasa para santri dan pengurus yayasan tunanetra Raudlatul Makfufin tak ditopang pula oleh perhatian dari pemerintahan daerah. Untuk biaya operasional belajar-mengajar santri, konsumsi, hingga kebutuhan lainnya harus dipikul sendiri oleh yayasan tunanetra ini. Padahal, mereka sepenuhnya hanya mengandalkan penjualan Alquran braile untuk bisa menutupi semua kebutuhan pokok tersebut.

"Dalam sebulan, kita sedikitnya menghabiskan dana sekira Rp50 juta, itu untuk operasional dan yang lain-lain. Sementara kita hanya mengandalkan jualan Alquran braile untuk membiayai itu semua. Harapan kita, ada perhatian juga dari pemerintah setempat, sehingga kita juga bisa fokus mendidik santri disini," tukasnya.

Meski sistem pesantren formal baru diterapkan sekira 3 tahun belakangan, namun tak sedikit prestasi yang ditorehkan santri-santri tunanetra Raudlatul Makfufin, salah satunya menyabet juara I lomba tahfiz Alquran di Bekasi tahun 2016.

Bahkan, sekira pada tahun 2012/2013 lalu santri-santri Raudatul Makfufin juga dipercaya mewakili delegasi Indonesia yang dikirim ke Turki, guna mengikuti konfrensi lembaga pencetak Alquran braile tingkat Internasional.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1344 seconds (0.1#10.140)