Warga Depok Anggap Jalan Berbayar Mengada-ada
A
A
A
DEPOK - Warga Depok khususnya di kawasan Pondok Cina mengaku keberatan dengan wacana Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerapkan electronic road pricing (ERP).
Selain tidak ada alternatif jalan, di kawasan itu juga banyak lokasi hunian. "Di sinikan banyak warga yang biasa keluar masuk di Margonda. Bagaimana kalau kami yang biasa keluar-masuk di Margonda harus bayar," kata Djaya Kasawilaga, tokoh Kelurahan Pondok Cina, Beji, Depok.
Menurut dia, sangat tidak masuk akal jika ERP jadi diterapkan di Margonda. Ini mengingat jalan itu menjadi satu-satunya akses yang menghubungkan Depok dengan Jakarta saat ini. Jika memang wacana itu akan diterapkan, seharusnya ada solusi yang tepat bagi warga dan pengendara yang tidak membayar.
"Di Jakarta saja sulit untuk diterapkan, apalagi di Margonda. Ini wacana yang kurang kajian," tandasnya. Hal senada diungkapkan warga lain, Budiman.
Dia juga menganggap wacana ini terlalu mengada-ada. Pasalnya, saat ini belum tepat ERP diterapkan di Margonda mengingat infrastruktur pendukungnya pun belum disiapkan sampai saat ini. "Sekarang memaksa untuk berbayar, tapi warga juga tidak diberikan solusi. Jadi, ini sangat memaksakan," katanya.
Ketua DPRD Kota Depok Hendrik Tangke Allo mengatakan, sampai saat; ini pihaknya belum mendapat informasi resmi soal wacana Pemprov menerapkan ERP di Margonda. Namun, menurut dia, program itu bukan ide yang ngawur.
"Hanya harus diperhatikan dulu kesiapannya. Itu boleh saja dan itu rencana bagus, tapi harus dipikirkan solusi lain seperti apa," katanya.
Yang harus disiapkan adalah soal alternatif jalan lain untuk pengguna nonberbayar. Jika jalur Margonda dibuat adanya pemisahan antara berbayar dan nonbayar, itu akan sangat mustahil. "Sudah ada jalur alternatifnya belum? Lalu bagaimana soal kajiannya?" katanya.
Dia menuturkan, ERP di Margonda hanya akan membuat kemacetan baru di titik lain. Sebab, pengendara lain akan mencari alternatif jalan yang tidak berbayar.
"Sama saja hanya memindahkan kemacetan. Margonda bisa jadi tidak macet, tapi kemacetan bisa jadi ada di titik lain," ungkapnya. Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Depok Sri Utami menuturkan, kajian terhadap Jalan Margonda mutlak dilakukan sebelum penerapan ERP.
Saat ini ‎secara umum kondisi Margonda memang sering mengalami kemacetan panjang, terutama pada jam-jam sibuk. "Keterlambatan pembangunan infrastruktur transportasi publik yang nyaman, aman, terintegrasi, dan terjangkau, dapat kita saksikan dampaknya saat ini," katanya.
Hal ini diiringi kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi serta maraknya transportasi online.Jadi, pendekatan penyelesaiannya harus terintegrasi.
"Pelebaran jalan bisa jadi opsi, tapi tidak boleh mengorbankan jalur hijau di tengah. Karena itu, jalur supply oksigen dan penyerapan polusi yang intensitasnya cukup pekat pada jam-jam padat," ungkapnya. (R Ratna Purnama)
Selain tidak ada alternatif jalan, di kawasan itu juga banyak lokasi hunian. "Di sinikan banyak warga yang biasa keluar masuk di Margonda. Bagaimana kalau kami yang biasa keluar-masuk di Margonda harus bayar," kata Djaya Kasawilaga, tokoh Kelurahan Pondok Cina, Beji, Depok.
Menurut dia, sangat tidak masuk akal jika ERP jadi diterapkan di Margonda. Ini mengingat jalan itu menjadi satu-satunya akses yang menghubungkan Depok dengan Jakarta saat ini. Jika memang wacana itu akan diterapkan, seharusnya ada solusi yang tepat bagi warga dan pengendara yang tidak membayar.
"Di Jakarta saja sulit untuk diterapkan, apalagi di Margonda. Ini wacana yang kurang kajian," tandasnya. Hal senada diungkapkan warga lain, Budiman.
Dia juga menganggap wacana ini terlalu mengada-ada. Pasalnya, saat ini belum tepat ERP diterapkan di Margonda mengingat infrastruktur pendukungnya pun belum disiapkan sampai saat ini. "Sekarang memaksa untuk berbayar, tapi warga juga tidak diberikan solusi. Jadi, ini sangat memaksakan," katanya.
Ketua DPRD Kota Depok Hendrik Tangke Allo mengatakan, sampai saat; ini pihaknya belum mendapat informasi resmi soal wacana Pemprov menerapkan ERP di Margonda. Namun, menurut dia, program itu bukan ide yang ngawur.
"Hanya harus diperhatikan dulu kesiapannya. Itu boleh saja dan itu rencana bagus, tapi harus dipikirkan solusi lain seperti apa," katanya.
Yang harus disiapkan adalah soal alternatif jalan lain untuk pengguna nonberbayar. Jika jalur Margonda dibuat adanya pemisahan antara berbayar dan nonbayar, itu akan sangat mustahil. "Sudah ada jalur alternatifnya belum? Lalu bagaimana soal kajiannya?" katanya.
Dia menuturkan, ERP di Margonda hanya akan membuat kemacetan baru di titik lain. Sebab, pengendara lain akan mencari alternatif jalan yang tidak berbayar.
"Sama saja hanya memindahkan kemacetan. Margonda bisa jadi tidak macet, tapi kemacetan bisa jadi ada di titik lain," ungkapnya. Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Depok Sri Utami menuturkan, kajian terhadap Jalan Margonda mutlak dilakukan sebelum penerapan ERP.
Saat ini ‎secara umum kondisi Margonda memang sering mengalami kemacetan panjang, terutama pada jam-jam sibuk. "Keterlambatan pembangunan infrastruktur transportasi publik yang nyaman, aman, terintegrasi, dan terjangkau, dapat kita saksikan dampaknya saat ini," katanya.
Hal ini diiringi kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi serta maraknya transportasi online.Jadi, pendekatan penyelesaiannya harus terintegrasi.
"Pelebaran jalan bisa jadi opsi, tapi tidak boleh mengorbankan jalur hijau di tengah. Karena itu, jalur supply oksigen dan penyerapan polusi yang intensitasnya cukup pekat pada jam-jam padat," ungkapnya. (R Ratna Purnama)
(nfl)