2020, Kerugian akibat Macet di Jakarta Capai Rp87,8 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dituntut bekerja keras mencari solusi kemacetan yang makin memprihatinkan. Pasalnya, selain menghambat mobilitas masyarakat dalam aktivitas sehari-hari, kemacetan juga menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar.
Intelligent Transport System (ITS) Indonesia memperkirakan, jika tidak teratasi maka kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta bakal mencapai USD6,5 miliar atau setara Rp87,8 triliun pada 2020 (kurs USD1 = Rp13.508). Nilai tersebut meningkat 6,5 kali lipat dibandingkan kerugian dampak macet di Ibu Kota pada 2010 lalu senilai USD1 miliar (Rp13,5 triliun).
Pada Oktober lalu, Bappenas mengungkap kerugian akibat kemacetan Rp67 triliun per tahun. Pemprov DKI Jakarta mengidentifikasi kemacetan dipicu sejumlah persoalan seperti pembangunan infrastruktur dan terus bertambahnya jumlah kendaraan pribadi yang tidak sebanding dengan jumlah jalan, serta belum terintegrasinya antarmoda transportasi massal berikut dengan fasilitas pendukungnya.
Presiden ITS Indonesia Noni Purnomo mengungkapkan, kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta saat sibuk kini hanya 10 km per jam. Angka kecepatan itu telah menurun setiap tahunnya sejak 10 tahun lalu. "Kota Jakarta diprediksi mengalami kemacetan total pada 2022 apabila tidak ada langkah-langkah komprehensif dalam menata ekosistem transportasi perkotaan," kata Noni di Jakarta, kemarin.
Dia mengakui berbagai upaya penanganan masalah-masalah transportasi memang telah dilakukan oleh pemerintah dan pelaku usaha. Tapi dalam pandangannya, solusi yang dihadirkan tersebut masih bersifat adhoc dan sporadis sehingga masih belum dapat menjawab tantangan yang menyeluruh.
"Solusi untuk permasalahan transportasi perkotaan di antaranya pengembangan transportasi publik terintegrasi yang nyaman dan mudah diakses oleh masyarakat lebih luas, serta pemanfaatan teknologi untuk menunjang sarana dan prasarana pengelolaan operasional transportasi," imbuh Noni.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Peng usaha Truk Indonesia Bidang Distribusi dan Logistik Kyat maja Lookman mengatakan, kemacetan yang terjadi selama ini memang memberikan kontribusi besar terhadap operasional. Masalah tersebut mengakibatkan utilisasi kendaraan semakin rendah atau hanya rata-rata 50.000 kilometer per tahunnya.
"Karena itu, solusi harus ada. Memang kita akui infrastruktur adalah salah satunya. Lebih khusus penambahan jalan-jalan tol di Indonesia," ujarnya. Dia menambahkan, selain jalan tol, sistem otomatisasi tol melalui penerapan kartu elektronik juga menekan angka kemacetan. Namun, yang ditekan masih hanya pada ruas-ruas yang tidak padat.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Iskandar Abubakar menyebutkan bahwa besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh warga Jakarta untuk bepergian dengan kendaraan umum itu rata-rata sekitar 20-30% penghasilannya dalam sebulan. Menurut Iskandar, angka ini cukup besar. Oleh sebab itu, pihaknya memiliki target untuk menekan besaran biaya yang harus dikeluarkan warga Jakarta untuk bepergian dengan transportasi umum. "Maksimal 14% biaya yang dikeluarkan untuk angkutan umum," ujarnya.
Vice President for Knowledge Management and Sustainable Development of The Asian Development Bank (ADB) Bambang Susantono menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengatasi kemacetan, terutama untuk mengoordinasi pihak-pihak terkait. "Terutama yang lebih penting memanfaatkan teknologi transportasi terkini, dan teknologi itu harus padu pada semua sektor transportasi yang kita gunakan," ungkap dia.
Dia memisalkan penggunaan teknologi transaksi nontunai atau e-toll harus padu dengan penggunaan kartu pada transportasi kereta api, bus trans, maupun sektor transportasi lain yang memungkinkan penerapan elektronic road pricing.
35 Km/Jam pada 2019
Pemprov DKI Jakarta mengakui adanya kerugian ekonomi sebagai dampak dari kemacetan yang terjadi saat ini. DKI menargetkan kemacetan terurai hingga rata-rata kecepatan di atas 35 kilometer per jam pada 2019. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, untuk mewujudkan target tersebut pihaknya berupaya mengintegrasikan moda transportasi berbasis bus dengan commuter.
Termasuk dengan pembiayaannya sambil menunggu pembangunan moda transportasi berbasis rel seperti mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT) selesai serta fasilitas pendukung lainnya yang tertuang dalam konsep Pola Transportasi Makro (PTM). "Dalam waktu dekat ini, kami akan mengurangi biaya operasional transportasi yang katanya saat ini berkisar 30-40% menjadi 10% melalui program OK Otrip," kata Andri, Selasa (22/11/2017).
Dia menjelaskan, program OK Otrip itu asumsinya memudahkan dan meringankan biaya mobilitas masyarakat dengan tarif maksimal Rp5.000 sekali perjalanan. Artinya dari awal perjalanan hingga akhir tempat tujuan, pengguna angkutan umum hanya cukup membayar Rp5.000.
Namun, kata Andri, apabila pengguna hanya naik satu angkutan umum dari awal perjalanan, pengguna hanya membayar Rp3.500. Misalnya dari rumah naik bus kecil Rp3.500, kemudian untuk mencapai kerjanya pengguna naik Transjakarta Rp1.500. Begitu juga sebaliknya, apabila awal perjalanan naik Transjakarta, pengguna hanya mengeluarkan biaya Rp3.500, dan kalau melanjutkannya pakai bus kecil Rp1.500.
"Jadi sekali perjalanan itu maksimal Rp5.000. Pulang-pergi Rp10.000. Kalau dikalikan 30 hari dalam satu bulan itu hanya Rp300.000 atau 10% dari upah minimum provinsi. Lumayan kan sisanya 20-30% buat pendidikan, tabungan, dan sebagainya," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Royke Lumowa mengakui masih adanya kekosongan personel di titik rawan macet tersebut. Dia mengakui kondisi ini terjadi karena Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya kekurangan personel. "Di Jakarta ini, waktu zaman saya, Ditlantas Polda Metro Jaya ada 747 titik krusial kemacetan yang harusnya diatasi. Tetapi keberadaan anggota saya waktu itu hanya mampu mengatasi sekitar 60-70%," katanya.
Selain perlunya penambahan personel, dia menekankan perbaikan sistem transportasi angkutan umum sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa berkurang. Dia melihat apa yang dilakukan saat ini masih parsial. "Yang kita bisa laksanakan hanya manual saja dengan keberadaan anggota di lapangan. Ada 4.500 Polantas di Jakarta mau mengatasi Jabodetabek yang begitu luas, paling di tempat krusial tetapi tidak semua," imbuhnya.
Intelligent Transport System (ITS) Indonesia memperkirakan, jika tidak teratasi maka kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta bakal mencapai USD6,5 miliar atau setara Rp87,8 triliun pada 2020 (kurs USD1 = Rp13.508). Nilai tersebut meningkat 6,5 kali lipat dibandingkan kerugian dampak macet di Ibu Kota pada 2010 lalu senilai USD1 miliar (Rp13,5 triliun).
Pada Oktober lalu, Bappenas mengungkap kerugian akibat kemacetan Rp67 triliun per tahun. Pemprov DKI Jakarta mengidentifikasi kemacetan dipicu sejumlah persoalan seperti pembangunan infrastruktur dan terus bertambahnya jumlah kendaraan pribadi yang tidak sebanding dengan jumlah jalan, serta belum terintegrasinya antarmoda transportasi massal berikut dengan fasilitas pendukungnya.
Presiden ITS Indonesia Noni Purnomo mengungkapkan, kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta saat sibuk kini hanya 10 km per jam. Angka kecepatan itu telah menurun setiap tahunnya sejak 10 tahun lalu. "Kota Jakarta diprediksi mengalami kemacetan total pada 2022 apabila tidak ada langkah-langkah komprehensif dalam menata ekosistem transportasi perkotaan," kata Noni di Jakarta, kemarin.
Dia mengakui berbagai upaya penanganan masalah-masalah transportasi memang telah dilakukan oleh pemerintah dan pelaku usaha. Tapi dalam pandangannya, solusi yang dihadirkan tersebut masih bersifat adhoc dan sporadis sehingga masih belum dapat menjawab tantangan yang menyeluruh.
"Solusi untuk permasalahan transportasi perkotaan di antaranya pengembangan transportasi publik terintegrasi yang nyaman dan mudah diakses oleh masyarakat lebih luas, serta pemanfaatan teknologi untuk menunjang sarana dan prasarana pengelolaan operasional transportasi," imbuh Noni.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Peng usaha Truk Indonesia Bidang Distribusi dan Logistik Kyat maja Lookman mengatakan, kemacetan yang terjadi selama ini memang memberikan kontribusi besar terhadap operasional. Masalah tersebut mengakibatkan utilisasi kendaraan semakin rendah atau hanya rata-rata 50.000 kilometer per tahunnya.
"Karena itu, solusi harus ada. Memang kita akui infrastruktur adalah salah satunya. Lebih khusus penambahan jalan-jalan tol di Indonesia," ujarnya. Dia menambahkan, selain jalan tol, sistem otomatisasi tol melalui penerapan kartu elektronik juga menekan angka kemacetan. Namun, yang ditekan masih hanya pada ruas-ruas yang tidak padat.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Iskandar Abubakar menyebutkan bahwa besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh warga Jakarta untuk bepergian dengan kendaraan umum itu rata-rata sekitar 20-30% penghasilannya dalam sebulan. Menurut Iskandar, angka ini cukup besar. Oleh sebab itu, pihaknya memiliki target untuk menekan besaran biaya yang harus dikeluarkan warga Jakarta untuk bepergian dengan transportasi umum. "Maksimal 14% biaya yang dikeluarkan untuk angkutan umum," ujarnya.
Vice President for Knowledge Management and Sustainable Development of The Asian Development Bank (ADB) Bambang Susantono menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengatasi kemacetan, terutama untuk mengoordinasi pihak-pihak terkait. "Terutama yang lebih penting memanfaatkan teknologi transportasi terkini, dan teknologi itu harus padu pada semua sektor transportasi yang kita gunakan," ungkap dia.
Dia memisalkan penggunaan teknologi transaksi nontunai atau e-toll harus padu dengan penggunaan kartu pada transportasi kereta api, bus trans, maupun sektor transportasi lain yang memungkinkan penerapan elektronic road pricing.
35 Km/Jam pada 2019
Pemprov DKI Jakarta mengakui adanya kerugian ekonomi sebagai dampak dari kemacetan yang terjadi saat ini. DKI menargetkan kemacetan terurai hingga rata-rata kecepatan di atas 35 kilometer per jam pada 2019. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, untuk mewujudkan target tersebut pihaknya berupaya mengintegrasikan moda transportasi berbasis bus dengan commuter.
Termasuk dengan pembiayaannya sambil menunggu pembangunan moda transportasi berbasis rel seperti mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT) selesai serta fasilitas pendukung lainnya yang tertuang dalam konsep Pola Transportasi Makro (PTM). "Dalam waktu dekat ini, kami akan mengurangi biaya operasional transportasi yang katanya saat ini berkisar 30-40% menjadi 10% melalui program OK Otrip," kata Andri, Selasa (22/11/2017).
Dia menjelaskan, program OK Otrip itu asumsinya memudahkan dan meringankan biaya mobilitas masyarakat dengan tarif maksimal Rp5.000 sekali perjalanan. Artinya dari awal perjalanan hingga akhir tempat tujuan, pengguna angkutan umum hanya cukup membayar Rp5.000.
Namun, kata Andri, apabila pengguna hanya naik satu angkutan umum dari awal perjalanan, pengguna hanya membayar Rp3.500. Misalnya dari rumah naik bus kecil Rp3.500, kemudian untuk mencapai kerjanya pengguna naik Transjakarta Rp1.500. Begitu juga sebaliknya, apabila awal perjalanan naik Transjakarta, pengguna hanya mengeluarkan biaya Rp3.500, dan kalau melanjutkannya pakai bus kecil Rp1.500.
"Jadi sekali perjalanan itu maksimal Rp5.000. Pulang-pergi Rp10.000. Kalau dikalikan 30 hari dalam satu bulan itu hanya Rp300.000 atau 10% dari upah minimum provinsi. Lumayan kan sisanya 20-30% buat pendidikan, tabungan, dan sebagainya," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Royke Lumowa mengakui masih adanya kekosongan personel di titik rawan macet tersebut. Dia mengakui kondisi ini terjadi karena Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya kekurangan personel. "Di Jakarta ini, waktu zaman saya, Ditlantas Polda Metro Jaya ada 747 titik krusial kemacetan yang harusnya diatasi. Tetapi keberadaan anggota saya waktu itu hanya mampu mengatasi sekitar 60-70%," katanya.
Selain perlunya penambahan personel, dia menekankan perbaikan sistem transportasi angkutan umum sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa berkurang. Dia melihat apa yang dilakukan saat ini masih parsial. "Yang kita bisa laksanakan hanya manual saja dengan keberadaan anggota di lapangan. Ada 4.500 Polantas di Jakarta mau mengatasi Jabodetabek yang begitu luas, paling di tempat krusial tetapi tidak semua," imbuhnya.
(amm)