Organda: Kacau Negara Kalau MA Kabulkan Taksi Online Tanpa Aturan
A
A
A
JAKARTA - Ketua Organda DKI Shafruhan Sinungan menilai pebisnis angkutan online sejak awal memang tidak mau ikuti aturan. Suatu kehancuran negara apabila Mahkamah Agung (MA) kembali memenangkan gugatan pembatalan pasal dalam Permenhub 108 tahun 2017 tentang angkutan tidak dalam trayek.
"Satu-satunya solusi untuk mensetarakan persaingan taksi online dan konvensional, adalah menjalankan mekanisme penegakan hukum. Jangan payung hukumnya yang menyesuaikan angkutan. Kalau penegakan hukum soal regulasi itu ditegakan, pastinya tidak akan ada konflik antara taksi online dan konvensional," kata Shafruhan saat dihubungi, Selasa 21 November 2017.
Shafruhan menjelaskan, Permenhub 108 tahun 2017, tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek sudah cukup mengatur angkutan online yang jelas cirinya sama dengan taksi. Hal itu sesuai dengan hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Organda beberapa waktu lalu dalam menghadapi perkembangan angkutan online.
Selain meminta aturan taksi online seperti aturan taksi karena kesamaan ciri, Shafruhan juga menyebut bahwa putusan lainya yakni meminta dan mengusulkan kepada pemerintah atau intansi terkait lainnya melakukan penegakan hukum secara pidana terhadap perusahaan angkutan umum secara ilegal yang tidak mau ikuti aturan.
"Kami sendiri terus berbenah diri meningkatkan pelayanan sesuai dengan Stndar Pelayanan Minimum (SPM) yang diatur dalam PM 28 Tahun 2015 tentang angkutna umum tidak dalam trayek atau PM 29 tahun 2015 tentang SPM angkutan umum dalam trayek. Jadi, kalau MA mengabulkan gugatan, negara ini jelas kacau," ungkapnya.
Kuasa hukum pengusaha taksi online, Perry Cornelius mengatakan, putusan MA perihal pencabutan 14 pasal dalam Permenhub No 26 Tahun 2017 Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek sangat berpengaruh terhadap operasional taksi online. "Putusan MA sudah jelas agar mencabut 14 pasal dalam Permenhub," ungkapnya.
Perry menjelaskan, penolakan pengusaha taksi konvensional terhadap angkutan online merupakan perbedaan cara pandang. Misalnya urusan pajak dan KIR. Taksi konvensional atau angkutan umum resmi jelas wajib membayar pajak dan uji KIR sebagai faktor keselamatan pengguna lantaran resmi dan armadanya berusia lebih dari lima tahun.
Sedangkan angkutan online yang merupakan akngkutan khsusu sewa, kata Perry, tidak perlu mengikuti uji KIR lantaran usia armada yang digunakan maksimal berusia lima tahun. Hal itu tercantum dalam syarat-syarat mengikuti aplikasi sebagai angkutan online. Termasuk surat berkelakuan baik, sehat dan memiliki izin mngemudi.
"Keselamatan mana yang mau dibahas? Dengan angkutna online, pengemudi dapat melangsungkan kehidupanya lebih sejahtera. Pengguna jasa bisa denan mudah mengecek kepribadian pengemudi. Kalau angkutan resmi, banyak usia mobil lebih dari lima tahun wajib uji KIR. Penguna jasa nyatanya kesulitan melacak identitas pengemudi," jelasnya.
"Satu-satunya solusi untuk mensetarakan persaingan taksi online dan konvensional, adalah menjalankan mekanisme penegakan hukum. Jangan payung hukumnya yang menyesuaikan angkutan. Kalau penegakan hukum soal regulasi itu ditegakan, pastinya tidak akan ada konflik antara taksi online dan konvensional," kata Shafruhan saat dihubungi, Selasa 21 November 2017.
Shafruhan menjelaskan, Permenhub 108 tahun 2017, tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek sudah cukup mengatur angkutan online yang jelas cirinya sama dengan taksi. Hal itu sesuai dengan hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Organda beberapa waktu lalu dalam menghadapi perkembangan angkutan online.
Selain meminta aturan taksi online seperti aturan taksi karena kesamaan ciri, Shafruhan juga menyebut bahwa putusan lainya yakni meminta dan mengusulkan kepada pemerintah atau intansi terkait lainnya melakukan penegakan hukum secara pidana terhadap perusahaan angkutan umum secara ilegal yang tidak mau ikuti aturan.
"Kami sendiri terus berbenah diri meningkatkan pelayanan sesuai dengan Stndar Pelayanan Minimum (SPM) yang diatur dalam PM 28 Tahun 2015 tentang angkutna umum tidak dalam trayek atau PM 29 tahun 2015 tentang SPM angkutan umum dalam trayek. Jadi, kalau MA mengabulkan gugatan, negara ini jelas kacau," ungkapnya.
Kuasa hukum pengusaha taksi online, Perry Cornelius mengatakan, putusan MA perihal pencabutan 14 pasal dalam Permenhub No 26 Tahun 2017 Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek sangat berpengaruh terhadap operasional taksi online. "Putusan MA sudah jelas agar mencabut 14 pasal dalam Permenhub," ungkapnya.
Perry menjelaskan, penolakan pengusaha taksi konvensional terhadap angkutan online merupakan perbedaan cara pandang. Misalnya urusan pajak dan KIR. Taksi konvensional atau angkutan umum resmi jelas wajib membayar pajak dan uji KIR sebagai faktor keselamatan pengguna lantaran resmi dan armadanya berusia lebih dari lima tahun.
Sedangkan angkutan online yang merupakan akngkutan khsusu sewa, kata Perry, tidak perlu mengikuti uji KIR lantaran usia armada yang digunakan maksimal berusia lima tahun. Hal itu tercantum dalam syarat-syarat mengikuti aplikasi sebagai angkutan online. Termasuk surat berkelakuan baik, sehat dan memiliki izin mngemudi.
"Keselamatan mana yang mau dibahas? Dengan angkutna online, pengemudi dapat melangsungkan kehidupanya lebih sejahtera. Pengguna jasa bisa denan mudah mengecek kepribadian pengemudi. Kalau angkutan resmi, banyak usia mobil lebih dari lima tahun wajib uji KIR. Penguna jasa nyatanya kesulitan melacak identitas pengemudi," jelasnya.
(mhd)