DKI Serahkan Sampah Tenaga Listrik Bantar Gebang Dikelola NOEI
A
A
A
BEKASI - Pemprov DKI Jakarta menyerahkan pengelolaan gas metan dari tumpukan sampah menjadi listrik di TPST Bantar Gebang kepada Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI). Meski sebelumnya DKI Jakarta telah memutus kontrak dengan PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan NOEI sejak Juli 2016 lalu.
”Kami masih membebaskan PT NOEI masih mengelola gas metan menjadi tenaga listrik,” ujar Kepala UPT TPST Bantar Gebang pada Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto pada Rabu, 25 Oktober 2017 kemarin.
Menurut Asep, DKI Jakarta masih membutuhkan NOEI untuk menyedot gas metan dari sistem ‘landfill’ yang ada di atas lahan TPST Bantar Gebang. Karena itulah, pihaknya membiarkan PT NOEI mengoperasikan pembangkit listrik (power house) yang berada di Kelurahan Ciketing.
Bahkan, lanjut dia, keuntungan hasil penjualan listrik tidak masuk ke rekening DKI Jakarta. Namun NOEI sebagai pengelola gas metan. Sebab, sejak masih dikelola pihak ketiga, keuntungan dari penjualan listrik mereka mengambil sendiri.
Karena itu, pemerintah tidak bisa mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk biaya perawatan maupun perbaikan. Selama ini, NOEI beroperasi menggunakan dana sendiri. Karena itulah cukup wajar bila keuntungan pengolahan listrik masuk kepada mereka.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Isnawa Adji menambahkan, aset TPST Bantar Gebang belum diserahkan ke DKI Jakarta. Sebab, pengelola terdahulu masih menginventarisir aset tersebut.”Kita ingin secepatnya selesai, namun ada kendala soal administrasi,” katanya.
Isnawa menjelaskan, sebetulnya ada masalah yang belum diselesaikan antara dua perusahaan, GTJ dengan NOEI. Di atas lahan 10 hektare yang dijadikan lokasi power house milik PT GTJ rupanya masih menjadi perdebatan di antara dua perusahaan tersebut.
Menurutnya, pihaknya menyerahkan hal itu ke GTJ dan NOEI untuk menghindari kesalahan, meski masih membutuhkan NOEI dalam mengolah gas metan menjadi listrik. Pemutusan kontrak kerja sama itu dipicu karena kedua perusahaan tersebut dianggap wanprestasi
Sampai saat ini pihaknya terus memperbarui perkembangan pemisahan aset ke Biro Hukum DKI Jakarta dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DKI Jakarta. Bahkan Biro Hukum DKI sering menggelar rapat, namun tidak menemukan titik temu.
Saat TPST Bantar Gebang dikelola oleh GTJ, kata dia, perusahaan tersebut diberi kebebasan untuk menunjuk mitra kerja dalam mengelola sampah. GTJ fokus pada pengelolaan sampah, sedangkan teknologi pengolahannya dipegang oleh NOEI.
Di tengah jalan, DKI menilai bahwa kedua perusahaan itu telah wanprestasi sehingga kontrak kerjanya harus segera diputus. Pada Selasa, 19 Juli 2016 lalu, DKI Jakarta resmi memutus kontrak kerjasama tersebut. Dalam kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) yang terjalin antarkeduanya.
Bahwa aset yang dimiliki pengelola akan diserahkan ke DKI bila masa kontraknya habis pada 2023 mendatang. Aset diambil alih DKI, bilamana investasi yang ditanam perusahaan tersebut tidak memenuhi target. Adapun aset itu berupa lahan seluas 110,8 hektare, rumah pembangkit (power house), bangunan kompos, kantor dan gedung pengolahan plastik.
”Kami masih membebaskan PT NOEI masih mengelola gas metan menjadi tenaga listrik,” ujar Kepala UPT TPST Bantar Gebang pada Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto pada Rabu, 25 Oktober 2017 kemarin.
Menurut Asep, DKI Jakarta masih membutuhkan NOEI untuk menyedot gas metan dari sistem ‘landfill’ yang ada di atas lahan TPST Bantar Gebang. Karena itulah, pihaknya membiarkan PT NOEI mengoperasikan pembangkit listrik (power house) yang berada di Kelurahan Ciketing.
Bahkan, lanjut dia, keuntungan hasil penjualan listrik tidak masuk ke rekening DKI Jakarta. Namun NOEI sebagai pengelola gas metan. Sebab, sejak masih dikelola pihak ketiga, keuntungan dari penjualan listrik mereka mengambil sendiri.
Karena itu, pemerintah tidak bisa mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk biaya perawatan maupun perbaikan. Selama ini, NOEI beroperasi menggunakan dana sendiri. Karena itulah cukup wajar bila keuntungan pengolahan listrik masuk kepada mereka.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Isnawa Adji menambahkan, aset TPST Bantar Gebang belum diserahkan ke DKI Jakarta. Sebab, pengelola terdahulu masih menginventarisir aset tersebut.”Kita ingin secepatnya selesai, namun ada kendala soal administrasi,” katanya.
Isnawa menjelaskan, sebetulnya ada masalah yang belum diselesaikan antara dua perusahaan, GTJ dengan NOEI. Di atas lahan 10 hektare yang dijadikan lokasi power house milik PT GTJ rupanya masih menjadi perdebatan di antara dua perusahaan tersebut.
Menurutnya, pihaknya menyerahkan hal itu ke GTJ dan NOEI untuk menghindari kesalahan, meski masih membutuhkan NOEI dalam mengolah gas metan menjadi listrik. Pemutusan kontrak kerja sama itu dipicu karena kedua perusahaan tersebut dianggap wanprestasi
Sampai saat ini pihaknya terus memperbarui perkembangan pemisahan aset ke Biro Hukum DKI Jakarta dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DKI Jakarta. Bahkan Biro Hukum DKI sering menggelar rapat, namun tidak menemukan titik temu.
Saat TPST Bantar Gebang dikelola oleh GTJ, kata dia, perusahaan tersebut diberi kebebasan untuk menunjuk mitra kerja dalam mengelola sampah. GTJ fokus pada pengelolaan sampah, sedangkan teknologi pengolahannya dipegang oleh NOEI.
Di tengah jalan, DKI menilai bahwa kedua perusahaan itu telah wanprestasi sehingga kontrak kerjanya harus segera diputus. Pada Selasa, 19 Juli 2016 lalu, DKI Jakarta resmi memutus kontrak kerjasama tersebut. Dalam kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) yang terjalin antarkeduanya.
Bahwa aset yang dimiliki pengelola akan diserahkan ke DKI bila masa kontraknya habis pada 2023 mendatang. Aset diambil alih DKI, bilamana investasi yang ditanam perusahaan tersebut tidak memenuhi target. Adapun aset itu berupa lahan seluas 110,8 hektare, rumah pembangkit (power house), bangunan kompos, kantor dan gedung pengolahan plastik.
(whb)