Kematian Debora, Ini Alasan Pasien BPJS Kerap Ditolak RS
A
A
A
JAKARTA - Kasus kematian bayi Tiara Debora Simanjorang di Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, tengah menjadi perbincangan hangat dan mendapatkan tanggapan yang beragam. Padahal, tidak seharusnya kasus seperti itu terjadi.
Politikus Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Johanna Myra Lengkong mengatakan, kesehatan merupakan tanggung jawab bersama tidak hanya tenaga kesehatan.
"Sistem manajemen kesehatan Indonesia yang tidak tertata dengan baik, menurut saya (itu) merupakan penyumbang terbesar masalah ini, di samping pendidikan dan kemiskinan itu sendiri," kata Johanna dalam siaran tertulisnya, Sabtu (16/9/2017).
Sehingga untuk mengatur pelayanan kesehatan yang paripurna dalam arti "sehat lebih baik dari pada sembuh" banyak bagian yang harus diperbaiki.
"Pemerintah pun mencoba mengulirkan BPJS, tapi kenapa tidak disambut dengan sukacita bahkan di beberapa tempat ditolak atau banyak layanan kesehatan menolak melayani (pasien) BPJS?" tanya Johanna.
Menurut dia, BPJS hanya membayar tenaga medis tanpa memikirkan alat medis dan obat-obatan untuk pasien. Alhasil, kata dia, banyak rumah sakit yang menolak menerima pasien BPJS.
"Karena yang dihemat hanya untuk pembayaran tenaga medis saja. Tapi pajak terhadap alat medis dan obat-obatan ini tinggi sehingga berdampak pada biaya pengobatan yang tinggi," tuturnya.
Bagi RS Swasta yang pengadaan alat medis semuanya disediakan sendiri, kata dia, tentu membutuhkan keuntungan untuk bertahan hidup. Dengan pembayaran BPJS tentu tidak mencukupi.
"Belum lagi kekurangan tenaga Medis, idealnya memeriksa satu orang pasien adalah 15 menit. Dengan jumlah pasien yang melebihi kuota tapi tetap harus melayani, membuat tenaga kesehatan tidak cukup waktu melakukan anamnesa dengan teliti," katanya.
Jadi dengan dibebaskan pajak untuk obat dan alat medis, maka rumah sakit-rumah sakit swasta mau bekerja sama dengan BPJS. "Sehingga permasalahan seperti ini tidak terulang kembali," ujarnya.
Politikus Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Johanna Myra Lengkong mengatakan, kesehatan merupakan tanggung jawab bersama tidak hanya tenaga kesehatan.
"Sistem manajemen kesehatan Indonesia yang tidak tertata dengan baik, menurut saya (itu) merupakan penyumbang terbesar masalah ini, di samping pendidikan dan kemiskinan itu sendiri," kata Johanna dalam siaran tertulisnya, Sabtu (16/9/2017).
Sehingga untuk mengatur pelayanan kesehatan yang paripurna dalam arti "sehat lebih baik dari pada sembuh" banyak bagian yang harus diperbaiki.
"Pemerintah pun mencoba mengulirkan BPJS, tapi kenapa tidak disambut dengan sukacita bahkan di beberapa tempat ditolak atau banyak layanan kesehatan menolak melayani (pasien) BPJS?" tanya Johanna.
Menurut dia, BPJS hanya membayar tenaga medis tanpa memikirkan alat medis dan obat-obatan untuk pasien. Alhasil, kata dia, banyak rumah sakit yang menolak menerima pasien BPJS.
"Karena yang dihemat hanya untuk pembayaran tenaga medis saja. Tapi pajak terhadap alat medis dan obat-obatan ini tinggi sehingga berdampak pada biaya pengobatan yang tinggi," tuturnya.
Bagi RS Swasta yang pengadaan alat medis semuanya disediakan sendiri, kata dia, tentu membutuhkan keuntungan untuk bertahan hidup. Dengan pembayaran BPJS tentu tidak mencukupi.
"Belum lagi kekurangan tenaga Medis, idealnya memeriksa satu orang pasien adalah 15 menit. Dengan jumlah pasien yang melebihi kuota tapi tetap harus melayani, membuat tenaga kesehatan tidak cukup waktu melakukan anamnesa dengan teliti," katanya.
Jadi dengan dibebaskan pajak untuk obat dan alat medis, maka rumah sakit-rumah sakit swasta mau bekerja sama dengan BPJS. "Sehingga permasalahan seperti ini tidak terulang kembali," ujarnya.
(mhd)