Minim Regulasi, Indonesia Mudah Jadi Target Sindikat Siber
A
A
A
JAKARTA - Indonesia masih menjadi pasar potensial bagi pelaku kejahatan siber. Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengungkap kan, para sindikat tersebut melihat adanya celah untuk beraksi di negara tertentu karena regulasinya minim dan tidak ketatnya pengawasan terkait kejahatan lintas negara.
“Mereka para sindikat ini memanfaatkan negara yang regulasinya minim. Kejahatan ini bahkan kerap dianggap remeh, tapi itu sebenarnya sangat serius. Buktinya, sindikat itu mau mengeluarkan modal untuk melakukan kejahatannya dengan pindah lokasi di negara lain. Tentunya agar tak langsung terdeteksi,” kata Ari melalui keterangan tertulisnya di Jakarta kemarin.
Sebelumnya, tim gabungan Polri bersama Kepolisian China melakukan penangkapan 151 warga negara China, Taiwan, dan WNI terkait kejahatan siber. Perinciannya dari 151 orang yang ditangkap, 125 warga negara China, 22 Taiwan, dan empat WNI. Mereka ditangkap pada Sabtu, 29 Juli 2017 lalu di tiga kota yang berbeda, yakni Jakarta, Surabaya, dan Bali secara bersamaan.
Saat ini para pelaku tersebut ditahan di Polda Metro Jaya. Kabareskrim menegaskan, kejahatan lintas negara tidak boleh dipandang sebelah mata karena tindak pidana tersebut tak lagi mengenal batas negara. Ari menekankan pentingnya teknologi informatika untuk mencegah tindak kejahatan siber tidak terjadi lagi.
“Tak hanya di Indonesia, negara lain perlu mengantisipasi hal tersebut agar warga negaranya tidak menjadi korban,” paparnya. Selain itu, otoritas yang berkenaan dengan kepemilikan data di Indonesia harus kembali mengetatkan regulasi penyimpanan data milik mereka.
“Provider telepon, misalnya, yang secara regulasi mewajibkan pemilik simcard telepon genggam untuk mengisi identitas. Atau juga bank hingga leasing yang pastinya selalu bersentuhan dengan data nasabah,” kata Ari. Ari menilai masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran adanya modus penipuan dan pemerasan seperti yang dilakukan WN China itu.
“Bahkan kalau menelusuri di dunia maya, saat ini justru masyarakat Indonesia sudah mampu melawan sindikat ini. Beberapa juga malah melawan balik para pelakunya,” tegas Ari.
Kriminolog Universitas Indonesia yang juga anggota Ombudsman, Adrianus Meliala, menilai ada dua alasan mengapa Indonesia masih menjadi pasar potensial bagi pelaku siber internasional untuk beraksi. Pertama, peluang untuk tertangkap di Indonesia bagi pelaku kejahatan siber internasional masih rendah.
“Sistem siber kita masih mudah ditembus hacker, lalu mereka bisa dengan mudah untuk melarikan diri karena kemampuan kepolisian kita masih terbatas,” jelas Adrianus.
Alasan kedua, Indonesia dianggap pasar potensial jika dilihat dari jumlah pengguna internet dan besaran jumlah pasar secara ekonomi. “Jadi ini menurut pelaku adalah bisnis besar. Misalnya untuk pemegang kartu kredit, maka enggak susah itu mencarinya lalu diperas dengan jumlah besar. Atau pengguna akun medsos seperti Facebook diperas dan menghasilkan keuntungan besar,” kata Adrianus.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarty pun mengapresiasi kinerja Polri dalam meng ungkap jaringan kejahatan siber internasional. “Pengungkapan ini kerja sama Polri dengan Kepolisian China. Kerja sama ini baiknya terus dilakukan dengan kepolisian negara lainnya. Kejahatan siber berkaitan erat dengan ke majuan teknologi dan komunikasi yang sifatnya global, jadi tidak bisa diatasi sendiri,” kata Poengky.
“Mereka para sindikat ini memanfaatkan negara yang regulasinya minim. Kejahatan ini bahkan kerap dianggap remeh, tapi itu sebenarnya sangat serius. Buktinya, sindikat itu mau mengeluarkan modal untuk melakukan kejahatannya dengan pindah lokasi di negara lain. Tentunya agar tak langsung terdeteksi,” kata Ari melalui keterangan tertulisnya di Jakarta kemarin.
Sebelumnya, tim gabungan Polri bersama Kepolisian China melakukan penangkapan 151 warga negara China, Taiwan, dan WNI terkait kejahatan siber. Perinciannya dari 151 orang yang ditangkap, 125 warga negara China, 22 Taiwan, dan empat WNI. Mereka ditangkap pada Sabtu, 29 Juli 2017 lalu di tiga kota yang berbeda, yakni Jakarta, Surabaya, dan Bali secara bersamaan.
Saat ini para pelaku tersebut ditahan di Polda Metro Jaya. Kabareskrim menegaskan, kejahatan lintas negara tidak boleh dipandang sebelah mata karena tindak pidana tersebut tak lagi mengenal batas negara. Ari menekankan pentingnya teknologi informatika untuk mencegah tindak kejahatan siber tidak terjadi lagi.
“Tak hanya di Indonesia, negara lain perlu mengantisipasi hal tersebut agar warga negaranya tidak menjadi korban,” paparnya. Selain itu, otoritas yang berkenaan dengan kepemilikan data di Indonesia harus kembali mengetatkan regulasi penyimpanan data milik mereka.
“Provider telepon, misalnya, yang secara regulasi mewajibkan pemilik simcard telepon genggam untuk mengisi identitas. Atau juga bank hingga leasing yang pastinya selalu bersentuhan dengan data nasabah,” kata Ari. Ari menilai masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran adanya modus penipuan dan pemerasan seperti yang dilakukan WN China itu.
“Bahkan kalau menelusuri di dunia maya, saat ini justru masyarakat Indonesia sudah mampu melawan sindikat ini. Beberapa juga malah melawan balik para pelakunya,” tegas Ari.
Kriminolog Universitas Indonesia yang juga anggota Ombudsman, Adrianus Meliala, menilai ada dua alasan mengapa Indonesia masih menjadi pasar potensial bagi pelaku siber internasional untuk beraksi. Pertama, peluang untuk tertangkap di Indonesia bagi pelaku kejahatan siber internasional masih rendah.
“Sistem siber kita masih mudah ditembus hacker, lalu mereka bisa dengan mudah untuk melarikan diri karena kemampuan kepolisian kita masih terbatas,” jelas Adrianus.
Alasan kedua, Indonesia dianggap pasar potensial jika dilihat dari jumlah pengguna internet dan besaran jumlah pasar secara ekonomi. “Jadi ini menurut pelaku adalah bisnis besar. Misalnya untuk pemegang kartu kredit, maka enggak susah itu mencarinya lalu diperas dengan jumlah besar. Atau pengguna akun medsos seperti Facebook diperas dan menghasilkan keuntungan besar,” kata Adrianus.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarty pun mengapresiasi kinerja Polri dalam meng ungkap jaringan kejahatan siber internasional. “Pengungkapan ini kerja sama Polri dengan Kepolisian China. Kerja sama ini baiknya terus dilakukan dengan kepolisian negara lainnya. Kejahatan siber berkaitan erat dengan ke majuan teknologi dan komunikasi yang sifatnya global, jadi tidak bisa diatasi sendiri,” kata Poengky.
(whb)