Dinkes DKI Enggan Tutup Klinik Nakal Pelanggar SOP BNN
A
A
A
JAKARTA - Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta tidak akan mencabut izin usaha tiga klinik yang diduga melakukan pelanggaran terhadap prosedural rehailitasi pecandu narkoba. Dinkes hanya menghentikan perjanjian kerja sama dengan tiga klinik tersebut.
Kepala Dinkes DKI Jakarta Koesmedi Priharto mengatakan, pihaknya telah melakukan penyelidikan terkait adanya pelanggaran yang dilakukan tiga klinik, yakni Ayudia, Sehati, dan Manuela untuk detoksifikasi dan merehalibatasi pecandu narkoba. Hasilnya, Dinkes hanya akan menghentikan perjanjian kerja sama dengan tiga klinik tersebut.
"Kami sudah meminta pemilik dan atau pengelolanya menandatangi perjanjian tidak akan melayani detoksifikasi dan merehabilitasi pecandu narkoba. Kalau melanggar, kami cabut ijin usahanya. Tutup," tegas Koesmedi ketika menaggapi hasil penyidikan, Selasa, 11 Juli 2017 kemarin.
Padahal sebelumnya, saat Koran SINDO melakukan penelusuran terhadap ketiga klinik itu serta satu klinik Mabes 8, di Jalan Mangga Besar 8, Taman Sari terungkap bahwa klinik-klinik itu melakukan detoksifikasi.
Seharusnya detokfikasi maupun rehabilitasi yang dilakukan melanggar SOP BNN. Sebab, assesment (rehab) dilakukan tidak melalui medis maupun pengecekan psikis. Setelah melakukan cek tensi, dokter malah memberikan obat penenang.
Salah seorang keluarga pecandu, MA (32) mengatakan, saat ini seorang keluarga menjadi ketagihan obat penenang yang dimiliki klinik itu. Saking parah, MA mengakui, anggota keluarganya itu menjadi kerap berhalusinasi, berbohong, dan jarang pulang ke rumah.
"Bisa dibilang sekarang makin parah. Setiap hari dia bisa menghabiskan enam botol infus. Satu botolnya seharga Rp700.000," tuturnya.
Terhadap temuan ini, Koesmedi mengaku hasil dari penelusuran yang dilakukan Sudinkes Jakarta Barat tidak menemukan hal demikian. Namun begitu, Koesmadi mengingatkan agar kinik maupun poliklinik manapun tidak melakukan detokfikasi apalagi merehabilitasi pencandu narkoba.
Sebab, selain akan berdampak parah kepada pasiennya, pemerintah telah memberikan petunjuk terhadap beberapa rumah sakit seperti, RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) di Cibubur, Jakarta Timur. RSKO Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan. RSUD Duren Sawit, Duren Sawit, Jakarta Timur, serta perawatan BNN.
"Ya kalau yang didetoksifikasi itu pengguna. Kalau ternyata pengedar? Pengelola, dokter, dan paramedis bisa terjerat pidana," ucapnya.
Kepala BNN Komjen Pol Budi Waseso menilai apa yang dilakukan tiga klinik hanya mencari keuntungan."Rehabilitasi dijadikan salah satu ajang bisnis. Kami tidak menginginkan itu. Karena rehabilitasi untuk menyelamatkan manusia. Ada standarnya harus dipatuhi," kata Buwas sapaan akrabnya.
Buwas berjanji akan melakukan pemeriksaan keseluruhan ke klinik-klinik yang menangani pecandu narkoba. Pada tahun ini BNN telah membuat standar khusus penanganan rehabilitasi bagi pecandu narkoba. "Ini sudah terjadi berkali-kali, dan sekarang sudah ada panduannya harus diberlakukan," tegas Buwas.
Kepala Dinkes DKI Jakarta Koesmedi Priharto mengatakan, pihaknya telah melakukan penyelidikan terkait adanya pelanggaran yang dilakukan tiga klinik, yakni Ayudia, Sehati, dan Manuela untuk detoksifikasi dan merehalibatasi pecandu narkoba. Hasilnya, Dinkes hanya akan menghentikan perjanjian kerja sama dengan tiga klinik tersebut.
"Kami sudah meminta pemilik dan atau pengelolanya menandatangi perjanjian tidak akan melayani detoksifikasi dan merehabilitasi pecandu narkoba. Kalau melanggar, kami cabut ijin usahanya. Tutup," tegas Koesmedi ketika menaggapi hasil penyidikan, Selasa, 11 Juli 2017 kemarin.
Padahal sebelumnya, saat Koran SINDO melakukan penelusuran terhadap ketiga klinik itu serta satu klinik Mabes 8, di Jalan Mangga Besar 8, Taman Sari terungkap bahwa klinik-klinik itu melakukan detoksifikasi.
Seharusnya detokfikasi maupun rehabilitasi yang dilakukan melanggar SOP BNN. Sebab, assesment (rehab) dilakukan tidak melalui medis maupun pengecekan psikis. Setelah melakukan cek tensi, dokter malah memberikan obat penenang.
Salah seorang keluarga pecandu, MA (32) mengatakan, saat ini seorang keluarga menjadi ketagihan obat penenang yang dimiliki klinik itu. Saking parah, MA mengakui, anggota keluarganya itu menjadi kerap berhalusinasi, berbohong, dan jarang pulang ke rumah.
"Bisa dibilang sekarang makin parah. Setiap hari dia bisa menghabiskan enam botol infus. Satu botolnya seharga Rp700.000," tuturnya.
Terhadap temuan ini, Koesmedi mengaku hasil dari penelusuran yang dilakukan Sudinkes Jakarta Barat tidak menemukan hal demikian. Namun begitu, Koesmadi mengingatkan agar kinik maupun poliklinik manapun tidak melakukan detokfikasi apalagi merehabilitasi pencandu narkoba.
Sebab, selain akan berdampak parah kepada pasiennya, pemerintah telah memberikan petunjuk terhadap beberapa rumah sakit seperti, RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) di Cibubur, Jakarta Timur. RSKO Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan. RSUD Duren Sawit, Duren Sawit, Jakarta Timur, serta perawatan BNN.
"Ya kalau yang didetoksifikasi itu pengguna. Kalau ternyata pengedar? Pengelola, dokter, dan paramedis bisa terjerat pidana," ucapnya.
Kepala BNN Komjen Pol Budi Waseso menilai apa yang dilakukan tiga klinik hanya mencari keuntungan."Rehabilitasi dijadikan salah satu ajang bisnis. Kami tidak menginginkan itu. Karena rehabilitasi untuk menyelamatkan manusia. Ada standarnya harus dipatuhi," kata Buwas sapaan akrabnya.
Buwas berjanji akan melakukan pemeriksaan keseluruhan ke klinik-klinik yang menangani pecandu narkoba. Pada tahun ini BNN telah membuat standar khusus penanganan rehabilitasi bagi pecandu narkoba. "Ini sudah terjadi berkali-kali, dan sekarang sudah ada panduannya harus diberlakukan," tegas Buwas.
(whb)