Keluarga Cabut Banding, Pengamat Nilai Ahok Akan Lakukan PK
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua ACTA Ali Lubis mengatakan, dicabutnya upaya hukum banding ke PT DKI yang dilakukan kubu Ahok kemarin bukan akhir dari sebuah proses hukum. Sebab, berdasarkan pasal 263-269 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, jelas mengatur tentang upaya hukum luar biasa, yakni Peninjauan Kembali (PK).
"Upaya hukum luar biasa atau PK ini dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya ke MA sesuai pasal 263 ayat 1 KUHAP, adapun permintaan PK dapat diajukan terhadap putusan pengadilan apabila telah memperoleh kekuatan hukum tetap," ujar Ali Lubis pada wartawan, Selasa (23/5/2017).
Artinya, kata dia, apabila kuasa hukum Ahok atau ahli waris mencabut upaya hukum banding, maka akan memperoleh putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde. Apalagi, kalau seandainya JPU ikut membatalkan upaya hukum banding ke PT DKI tersebut, vonis 2 tahun penjara yang dibacakan majelis hakim PN Jakarta Utara ke Ahok akan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Adapun beberapa alasan, beber Ali, pasal 263 ayat 2 KUHAP, apabila upaya hukum PK tersebut benar akan diajukan oleh Ahok atas dasar, pertama adanya temuan bukti-bukti baru. Kedua, apabila dalam putusan terdapat pernyataan sesuatu telah terbukti, akan tetapi terdapat keterangan-keterangan atau penyataan yang ternyata satu sama lain saling bertentangan.
Dan ketiga, apabila putusan tersebut terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan secara nyata. Dia menilai, alasan paling rasional atau masuk akal yang akan diajukan sebagai dasar melakukan PK tersebut ada pada point ketiga.
"Dicabutnya banding merupakan suatu strategi yang lebih realistis dan masuk akal agar mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap atau selanjutnya akan menempuh upaya hukum PK," katanya.
"Sebab, bila melakukan banding atau kasasi, kemungkinan vonis hukuman bertambah di atas 2 tahun. Kalau PK, secara waktu pun lebih singkat," imbuhnya.
Dia menambahkan, saat mengajukan PK nanti, diyakini Ahok akan melandaskan pasal pasal 266 ayat 2 huruf b apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, maka MA membatalkan putusan yang dimintakan PK tersebut berupa, putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum, dan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Mengenai kemungkinan PK yang diambil Ahok, diyakini pula oleh pakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, dengan PK prosesnya akan lebih singkat karena akan langsung dikaji oleh Mahkamah Agung. Karena PK hanya diperbolehkan setelah adanya kekuatan hukum tetap. Dia pun yakin Ahok akan melakukan strategi tersebut.
Dia mengungkapkan, ada dua alasan bila Ahok mengajukan PK, yakni dilatari bukti-bukti baru dan adanya kekeliruan dalam putusan majelis hakim di kasus penistaan agama kemarin. Namun, alasan kedua itu lebih masuk akan digunakan pengacara Ahok dalam mengajukan PK.
"Mereka bisa berargumen majelis hakim telah mengabaikan pembelaan atau bukti-bukti yang diajukan," katanya kepada SINDONews, Selasa (23/5/2017).
"Upaya hukum luar biasa atau PK ini dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya ke MA sesuai pasal 263 ayat 1 KUHAP, adapun permintaan PK dapat diajukan terhadap putusan pengadilan apabila telah memperoleh kekuatan hukum tetap," ujar Ali Lubis pada wartawan, Selasa (23/5/2017).
Artinya, kata dia, apabila kuasa hukum Ahok atau ahli waris mencabut upaya hukum banding, maka akan memperoleh putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde. Apalagi, kalau seandainya JPU ikut membatalkan upaya hukum banding ke PT DKI tersebut, vonis 2 tahun penjara yang dibacakan majelis hakim PN Jakarta Utara ke Ahok akan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Adapun beberapa alasan, beber Ali, pasal 263 ayat 2 KUHAP, apabila upaya hukum PK tersebut benar akan diajukan oleh Ahok atas dasar, pertama adanya temuan bukti-bukti baru. Kedua, apabila dalam putusan terdapat pernyataan sesuatu telah terbukti, akan tetapi terdapat keterangan-keterangan atau penyataan yang ternyata satu sama lain saling bertentangan.
Dan ketiga, apabila putusan tersebut terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan secara nyata. Dia menilai, alasan paling rasional atau masuk akal yang akan diajukan sebagai dasar melakukan PK tersebut ada pada point ketiga.
"Dicabutnya banding merupakan suatu strategi yang lebih realistis dan masuk akal agar mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap atau selanjutnya akan menempuh upaya hukum PK," katanya.
"Sebab, bila melakukan banding atau kasasi, kemungkinan vonis hukuman bertambah di atas 2 tahun. Kalau PK, secara waktu pun lebih singkat," imbuhnya.
Dia menambahkan, saat mengajukan PK nanti, diyakini Ahok akan melandaskan pasal pasal 266 ayat 2 huruf b apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, maka MA membatalkan putusan yang dimintakan PK tersebut berupa, putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum, dan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Mengenai kemungkinan PK yang diambil Ahok, diyakini pula oleh pakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, dengan PK prosesnya akan lebih singkat karena akan langsung dikaji oleh Mahkamah Agung. Karena PK hanya diperbolehkan setelah adanya kekuatan hukum tetap. Dia pun yakin Ahok akan melakukan strategi tersebut.
Dia mengungkapkan, ada dua alasan bila Ahok mengajukan PK, yakni dilatari bukti-bukti baru dan adanya kekeliruan dalam putusan majelis hakim di kasus penistaan agama kemarin. Namun, alasan kedua itu lebih masuk akan digunakan pengacara Ahok dalam mengajukan PK.
"Mereka bisa berargumen majelis hakim telah mengabaikan pembelaan atau bukti-bukti yang diajukan," katanya kepada SINDONews, Selasa (23/5/2017).
(ysw)