Cabut Banding, Pengamat: Ahok Tahu Resikonya
A
A
A
JAKARTA - Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia Abdul Fickar Hadjar membeberkan, alasan pencabutan banding Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena terpidana tahu resikonya. Karena selama ini, para penista agama dihukum cukup berat sedangkan Ahok hanya divonis 2 tahun penjara.
Fickar menjelaskan, kemungkinan Ahok akan memilih PK karena dalam banding sangat beresiko kalah, ditolak, atau bahkan mendapatkan tambahan vonis menjadi lebih panjang.
"Untuk kasus penodaan agama hampir semua pelaku dihukum lebih dari 2 tahun. Mungkin Ahok atau keluarga takut ini akan terjadi jika kalah di tahap banding. Makanya, mereka memilih untuk mencabutnya," jelasnya ketika dihubungi SINDOnews, Selasa (23/5/2017).
Dia membeberkan, Ahok masih memiliki senjata hukum selain PK, yakni remisi atau pengurangan masa pidana yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo. Namun, kecil kemungkinan Ahok membatalkan banding demi mendapatkan remisi, kemungkinan terbesar Ahok memperjuangkan PK.
Dia menambahkan, jika tak ada langkah hukum yang dilakukan usai mencabut banding, artinya Ahok menerima dan akan menjalankan vonis dua tahun penjara yang ditetapkan oleh majelis hakim PN Jakarta Utara.
Fickar menjelaskan, kemungkinan Ahok akan memilih PK karena dalam banding sangat beresiko kalah, ditolak, atau bahkan mendapatkan tambahan vonis menjadi lebih panjang.
"Untuk kasus penodaan agama hampir semua pelaku dihukum lebih dari 2 tahun. Mungkin Ahok atau keluarga takut ini akan terjadi jika kalah di tahap banding. Makanya, mereka memilih untuk mencabutnya," jelasnya ketika dihubungi SINDOnews, Selasa (23/5/2017).
Dia membeberkan, Ahok masih memiliki senjata hukum selain PK, yakni remisi atau pengurangan masa pidana yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo. Namun, kecil kemungkinan Ahok membatalkan banding demi mendapatkan remisi, kemungkinan terbesar Ahok memperjuangkan PK.
Dia menambahkan, jika tak ada langkah hukum yang dilakukan usai mencabut banding, artinya Ahok menerima dan akan menjalankan vonis dua tahun penjara yang ditetapkan oleh majelis hakim PN Jakarta Utara.
(ysw)