Jelang Vonis Ahok, GNPF Akan Surati PN Jakut, MA dan Hakim
A
A
A
JAKARTA - Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) bakal menyurati Mahkamah Agung (MA), Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), dan Ketua Majelis Hakim persidangan dugaan kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Surat itu sebagai bentuk dukungan untuk ketiganya.
"Kami akan sampaikan surat dukungan untuk memutus secara adil. Surat itu akan kita berikan kepada Ketua Majelis Hakim, PN Jakut, dan ke MA," kata Ketua Advokasi GNPF MUI Nasrulloh Nasution di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (2/5/2017).
Dia mengatakan, di dalam surat tersebut juga melampirkan putusan perkara kasus penistaan agama lainnya sebagai yurisprudensi yang mana tebalnya tak kalah dengan surat tuntutan dari JPU dan pledoi terdakwa Ahok. Lampiran berbagai Aksi Bela Islam, sebagai respon dari perbuatan Ahok pun akan pula dilampirkannya.
"Kami lampirkan pula berbagai aksi umat Islam yang sudah kami lakukan bersama, begitu banyak orang terlibat dan berharap atas putusan ini, bukan cuma warga Jakarta tapi juga warga Indonesia secara luas," tuturnya.
Itu semua, kata dia, dilakukan akibat terusiknya rasa keadilan. Dia berharap, surat tersebut diterima semuanya dan akan diberikan sebelum Jumat, 5 Mei 2017 mendatang ke tiga pihak tersebut.
Sementara itu, anggota Tim Advokasi GNPF-MUI Kapitra Ampera mengaku, awalnya GNPF ingin JPU menuntut terdakwa kasus dugaan penistaan agama Ahok dengan tuntutan seberat-beratnya. Namun, di luar dugaan, justru JPU mengatakan Ahok tidak menista agama. Dengan tuntutan ringan itu, sama saja JPU menuntut pembubaran MUI.
"Kita berharap JPU menuntut Basuki, tetapi nyataannya tuntutan itu menuntut pembubaran MUI. Kenapa? Karena GNPF hadir untuk mengawal sikap keagamaan yang menyatakan Basuki menistakan agama. Sedangkan JPU menyebut tak ada penistaan agama," paparnya.
Kapitra mengungkapkan, ketika JPU mengatakan tidak adanya penodaan agama, maka fatwa MUI terdelegitimasi. "Karena fatwa MUI dianggap tidak valid, tidak benar dan bohong. Itu makna yang kami rasakan atas tuntutan JPU," tuturnya.
Dia juga menjabarkan, jika dihubungkan peristiwa dengan tuntutan, hal itu sangat tidak sesuai. Dia menceritakan, kasus-kasus penodaan agama sebelumnya tidak pernah dihukum ringan atau bebas.
"Boleh kita bandingkan dengan kasus Arswendo. Arswemdo cuma menurunkan grade Rasulullah SAW. Yang menempatkan Rasulullah di bawah sejumlah nama," terangnya.
"Maka pasal 156a KUHP harus diterapkan, yang mana umat Islam menjadi korbannya. Pada 212, 7 juta orang turun ke jalan, itu mereka yang tersakiti," imbuhnya.
Akibat perlindungan terstruktur atas penodaan agama, akan muncul penodaan agama lainnya. Negara melindungi secara telanjang, bahwa tak ada perlindungan pada si penoda.
"Kami akan sampaikan surat dukungan untuk memutus secara adil. Surat itu akan kita berikan kepada Ketua Majelis Hakim, PN Jakut, dan ke MA," kata Ketua Advokasi GNPF MUI Nasrulloh Nasution di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (2/5/2017).
Dia mengatakan, di dalam surat tersebut juga melampirkan putusan perkara kasus penistaan agama lainnya sebagai yurisprudensi yang mana tebalnya tak kalah dengan surat tuntutan dari JPU dan pledoi terdakwa Ahok. Lampiran berbagai Aksi Bela Islam, sebagai respon dari perbuatan Ahok pun akan pula dilampirkannya.
"Kami lampirkan pula berbagai aksi umat Islam yang sudah kami lakukan bersama, begitu banyak orang terlibat dan berharap atas putusan ini, bukan cuma warga Jakarta tapi juga warga Indonesia secara luas," tuturnya.
Itu semua, kata dia, dilakukan akibat terusiknya rasa keadilan. Dia berharap, surat tersebut diterima semuanya dan akan diberikan sebelum Jumat, 5 Mei 2017 mendatang ke tiga pihak tersebut.
Sementara itu, anggota Tim Advokasi GNPF-MUI Kapitra Ampera mengaku, awalnya GNPF ingin JPU menuntut terdakwa kasus dugaan penistaan agama Ahok dengan tuntutan seberat-beratnya. Namun, di luar dugaan, justru JPU mengatakan Ahok tidak menista agama. Dengan tuntutan ringan itu, sama saja JPU menuntut pembubaran MUI.
"Kita berharap JPU menuntut Basuki, tetapi nyataannya tuntutan itu menuntut pembubaran MUI. Kenapa? Karena GNPF hadir untuk mengawal sikap keagamaan yang menyatakan Basuki menistakan agama. Sedangkan JPU menyebut tak ada penistaan agama," paparnya.
Kapitra mengungkapkan, ketika JPU mengatakan tidak adanya penodaan agama, maka fatwa MUI terdelegitimasi. "Karena fatwa MUI dianggap tidak valid, tidak benar dan bohong. Itu makna yang kami rasakan atas tuntutan JPU," tuturnya.
Dia juga menjabarkan, jika dihubungkan peristiwa dengan tuntutan, hal itu sangat tidak sesuai. Dia menceritakan, kasus-kasus penodaan agama sebelumnya tidak pernah dihukum ringan atau bebas.
"Boleh kita bandingkan dengan kasus Arswendo. Arswemdo cuma menurunkan grade Rasulullah SAW. Yang menempatkan Rasulullah di bawah sejumlah nama," terangnya.
"Maka pasal 156a KUHP harus diterapkan, yang mana umat Islam menjadi korbannya. Pada 212, 7 juta orang turun ke jalan, itu mereka yang tersakiti," imbuhnya.
Akibat perlindungan terstruktur atas penodaan agama, akan muncul penodaan agama lainnya. Negara melindungi secara telanjang, bahwa tak ada perlindungan pada si penoda.
(mhd)