Pantura Antisipasi Perkembangan Jakarta di Masa Depan
A
A
A
JAKARTA - Jakarta adalah kota pesisir. Empat puluh persen dari topografi Jakarta lebih rendah dari laut. Itulah sebabnya dahulu Belanda membangun Jakarta di darat.
"Tetapi, begitu kita selesai kemerdekaan dan setelah itu Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta) berhasil membangun Pluit. Itu menjadi contoh bahwa ternyata rawa itu bisa dibangun," kata pakar perkotaan Rudy Tambunan di Jakarta, kemarin.
Menurut Rudy, populasi penduduk Jakarta terus meningkat. Maka itu, kata dia, sarana dan prasarana harus meningkat dua kali lipat juga. Sayangnya, pemerintah tidak bisa menyediakan prasarana mengantisipasi perkembangan tersebut. Karena itulah, orang-orang yang datang ke Jakarta mencari rumah sendiri.
"Tanah siap bangun tidak ada, mereka pun menempati tanah di pinggir sungai, dan tempat-tempat lain termasuk di pantai Jakarta," kata Rudy.
Karena tanah di pantai sudah digunakan, maka diperlukan tanah baru. Menurut Rudy, dari situlah Jakarta mulai memikirkan solusinya dan terciptalah pantai mutiara. Berikutnya, untuk pengembangan pantai utara Jakarta, Pemerintah DKI mulai melakukan studi antara tahun 1990 sampai 1993.
"Langkah ini kemudian dilanjutkan tahun 1993 sampai 1995 untuk menyusun konsep pengembangannya," kata Rudy.
Akhirnya, tahun 1995 itu keluar istilah Pantura sebagai kawasan andalan. Di tahun yang sama, kata Rudy, terbit Keputusan Presiden yang mendorong DKI untuk cepat melaksanakan reklamasi. Sayangnya, tahun 1998 krisis datang menghampiri. Realisasi reklamasi mandeg. Baru di tahun 2003 berbagai pihak mulai diajak.
"Kemudian, badan pelaksana Pantura dibentuk untuk menjadi semacam pemandu," cerita Rudy.
Semua pihak memahami bahwa membangun dan melaksanakan reklamasi ongkosnya mahal. Sehingga, pemerintah pun mengundang pihak swasta sebagai mitra pelaksana.
"Dari sekian Mitra, tadinya ada beberapa yang akan mulai melaksanakan reklamasi pada tahun 2007. Namun itu tertunda. Dan yang pertama pertama itu memulai secara fisik baru di tahun 2013," ujar Rudy.
Kemudian, pakar perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, pemerintah daerah perlu menggandeng swasta untuk mempercepat pembangunan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tak akan cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan kota seperti berbagai proyek strategis, termasuk infrastruktur.
Keterlibatan swasta dalam berbagai program pemerintah bisa dilakukan melalui berbagai cara. "Misalnya dilibatkan dalam program CSR," jelas Yayat Supriatna.
Melalui Corporate Social Responsibility (CSR), Yayat mencontohkan, pihak swasta bisa dilibatkan dalam pembinaan pedagang kecil yang bekerja sama dengan program pemberdayaan dari perusahaan. Contoh terbaru, kata Yayat, adalah pembangunan fasilitas publik di Kalijodo dan jembatan di Semanggi.
"Yang terpenting semua pemanfaatan terintegrasi dalam rencana kerja pemerintah dan transparan sehingga terpercaya," kata Yayat.
Program CSR, kata Yayat, seharusnya menjadi bagian strategi pengembangan jaringan ekonomi dan sistem produksi. Berdasarkan data Pemerintah Jakarta, 64% anggaran DKI Jakarta 2017 sudah terbagi untuk keperluan di luar belanja modal.
Terkait pengembangan kawasan Pantura Jakarta, Pemprov DKI, misalnya, mewajibkan kepada pihak swasta untuk memberikan kontribusi dalam mengendalikan banjir di kawasan utara Jakarta. Bentuk kontribusinya adalah melaksanakan pembangunan seperti pompa, pengerukan sungai dan waduk, peninggian tanggul kali dan pantai, juga pembangunan jalan inspeksi, juga rumah susundan berbagai kelengkapannya.
"Tetapi, begitu kita selesai kemerdekaan dan setelah itu Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta) berhasil membangun Pluit. Itu menjadi contoh bahwa ternyata rawa itu bisa dibangun," kata pakar perkotaan Rudy Tambunan di Jakarta, kemarin.
Menurut Rudy, populasi penduduk Jakarta terus meningkat. Maka itu, kata dia, sarana dan prasarana harus meningkat dua kali lipat juga. Sayangnya, pemerintah tidak bisa menyediakan prasarana mengantisipasi perkembangan tersebut. Karena itulah, orang-orang yang datang ke Jakarta mencari rumah sendiri.
"Tanah siap bangun tidak ada, mereka pun menempati tanah di pinggir sungai, dan tempat-tempat lain termasuk di pantai Jakarta," kata Rudy.
Karena tanah di pantai sudah digunakan, maka diperlukan tanah baru. Menurut Rudy, dari situlah Jakarta mulai memikirkan solusinya dan terciptalah pantai mutiara. Berikutnya, untuk pengembangan pantai utara Jakarta, Pemerintah DKI mulai melakukan studi antara tahun 1990 sampai 1993.
"Langkah ini kemudian dilanjutkan tahun 1993 sampai 1995 untuk menyusun konsep pengembangannya," kata Rudy.
Akhirnya, tahun 1995 itu keluar istilah Pantura sebagai kawasan andalan. Di tahun yang sama, kata Rudy, terbit Keputusan Presiden yang mendorong DKI untuk cepat melaksanakan reklamasi. Sayangnya, tahun 1998 krisis datang menghampiri. Realisasi reklamasi mandeg. Baru di tahun 2003 berbagai pihak mulai diajak.
"Kemudian, badan pelaksana Pantura dibentuk untuk menjadi semacam pemandu," cerita Rudy.
Semua pihak memahami bahwa membangun dan melaksanakan reklamasi ongkosnya mahal. Sehingga, pemerintah pun mengundang pihak swasta sebagai mitra pelaksana.
"Dari sekian Mitra, tadinya ada beberapa yang akan mulai melaksanakan reklamasi pada tahun 2007. Namun itu tertunda. Dan yang pertama pertama itu memulai secara fisik baru di tahun 2013," ujar Rudy.
Kemudian, pakar perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, pemerintah daerah perlu menggandeng swasta untuk mempercepat pembangunan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tak akan cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan kota seperti berbagai proyek strategis, termasuk infrastruktur.
Keterlibatan swasta dalam berbagai program pemerintah bisa dilakukan melalui berbagai cara. "Misalnya dilibatkan dalam program CSR," jelas Yayat Supriatna.
Melalui Corporate Social Responsibility (CSR), Yayat mencontohkan, pihak swasta bisa dilibatkan dalam pembinaan pedagang kecil yang bekerja sama dengan program pemberdayaan dari perusahaan. Contoh terbaru, kata Yayat, adalah pembangunan fasilitas publik di Kalijodo dan jembatan di Semanggi.
"Yang terpenting semua pemanfaatan terintegrasi dalam rencana kerja pemerintah dan transparan sehingga terpercaya," kata Yayat.
Program CSR, kata Yayat, seharusnya menjadi bagian strategi pengembangan jaringan ekonomi dan sistem produksi. Berdasarkan data Pemerintah Jakarta, 64% anggaran DKI Jakarta 2017 sudah terbagi untuk keperluan di luar belanja modal.
Terkait pengembangan kawasan Pantura Jakarta, Pemprov DKI, misalnya, mewajibkan kepada pihak swasta untuk memberikan kontribusi dalam mengendalikan banjir di kawasan utara Jakarta. Bentuk kontribusinya adalah melaksanakan pembangunan seperti pompa, pengerukan sungai dan waduk, peninggian tanggul kali dan pantai, juga pembangunan jalan inspeksi, juga rumah susundan berbagai kelengkapannya.
(mhd)