Warga Bogor Keluhkan Proyek Fasilitas Pejalan Kaki
A
A
A
BOGOR - Proyek fasilitas pejalan kaki (pedestrian) dan jalur khusus sepeda yang menelan biaya Rp32 miliar di lingkar Kebun Raya dan Istana Bogor, kembali menuai kontroversi. Tak hanya DPRD Kota Bogor, sejumlah kalangan masyarakat juga mengeluhkan proyek tersebut.
"Saya sudah dua kali nyobain pedestrian dan fasilitas sepedanya. Saya rasakan langsung, jauh dari harapan dan bayangan selama ini. Masih banyak tiang besi bekas rambu, penerangan jalan umum, dan lampu merah. Jadi enggak nyaman juga sih," ujar Rosdiana (24), warga Bantarkemang, Bogor Timur, Kota Bogor saat ditemui disela-sela sepeda santai bersama keluarganya, Minggu 4 Desember 2016.
Hal senada diungkapkan Kartina (45), warga Jalan Riau, Baranangsiang, Bogor Timur, Kota Bogor. Ia mengaku kecewa dengan kualitas pedestrian yang sudah mempersempit jalan raya protokol (Jalan Ir H Juanda), kondisinya membahayakan keselamatan pejalan kaki dan pengguna sepeda.
"Meski belum diresmikan, dan belum tuntas betul. Tapi saya lihat di Jalan Otista dan Jalan Ir H Juanda, itu sudah tidak ada pekerjaan, kemudian saya coba jalan-jalan sama anak saya, cukup berbahaya banyak lubang dan tumpukan puing ubin, saluran air juga tidak ditutup rapat. Itu sangat membahayakan," keluhnya.
Berdasarkan pantauan, proyek pedestrian yang dibangun sejak Juni dan akan berakhir Desember ini, kondisinya sangat memprihatinkan. Fasilitas pejalan kaki sepanjang empat kilometer lebih ini, sebagai proyek turunan dari Sistem Satu Arah (SSA) dikerjakan di empat ruas yakni Jalan Raya Ir Juanda, Otista, Jalak Harupat dan Pajajaran sebgian besar sudah selesai.
Hanya di Jalan Jalak Harupat dan Otista saja yang masih terlihat kumpulan pekerja tengah menyelesaikan jembatan dan pedestrian. Sedangkan, di Jalan Ir H Juanda dan Jalan Pajajaran sudah tak ada pekerja yang terlihat melakukan pembangunan pedestrian. Ironisnya, tumpukan puing, tanah dan lubang masih terlihat kumuh.
Selain merusak estetika kota, kondisi pedestrian tersebut masih jauh dari layak sebagai fasilitas yang dibangun untuk memuliakan pejalan kaki. Bahkan, pedestrian yang dibangun dengan sistem betonisasi kemudian dilapis ubin ini, dinilai mengancam dan merusak lingkungan resapan air sekeliling Kebun Raya Bogor.
Ketua Pemerhati Pembangunan dan Lingkungan Hidup Indonesia (PPLHI), Muhamad Nurman menjelaskan, betonisasi yang diterapkan pada pendestrian tidak mempertimbangkan aspek lingkungan. "Kalau ini kan (pendestrian) sama sekali tidak memikirkan dan memperdulikan lingkungan," katanya.
Sudah sepatutnya, pembangunan apapun mesti memikirkan aspek dari lingkungan alam sekitar. Hal itu jelas berbanding terbalik dengan pendestrian tersebut. "Jadi begini, meski pohon itu tetap ada, tapi tanahnya ditutup betonasi, lalu air lari kemana, jika tidak ada tanah percuma, air mau di serap dan di tampung dengan apa," ucapnya.
Bukan hanya aspek lingkungan yang ia kritisi, Nurman juga menilai, bahwa pendestrian dengan lebar seperti yang dibuat sekarang belum selayaknya dimiliki oleh Kota Bogor.
"Pedestrian yang luas dan lebar itu cocok untuk daerah yang memang mobilitas masyarakat pejalan kaki dan pesepedanya tinggi," ujarnya.
Sementara itu, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto saat dikonfirmasi terkait banyak fasilitas publik yang manfaatnya dipertanyakan dan tak sesuai harapan publik menanggapinya secara diplomatis.
"Kita tidak mungkin anti terhadap perubahan, setiap pelaksanaan pembangunan di masa kepemimpinan saya itu selalu menuai kontroversi dan sekecil apapun selalu dikritik, saya akui masyarakat Kota Bogor sangat kritis dibandingkan Bandung," katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, SSA, pedestrian, rerouting angkutan kota (angkot) dan konversi tiga angkot diganti menjadi satu bus di jalur pusat Kota Bogor merupakan program mengatasi kemacetan yang saat ini kondisinya semakin parah.
"Pembangunan pedestrian itu sekaligus untuk merubah paradigma bertransportasi masyarkat. Baik masyarakat Kota Bogor maupun luar Bogor, semuanya dipaksa untuk berjalan kaki. Yang jelas semua proyek terkait konsep surga pejalan kaki maupun kota pusaka ini hasil kajian, baik Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) hidup dan lalu lintas. Maupun kajian budayawan terkait pembangunan simbol-simbol kota pusaka," jelasnya.
"Saya sudah dua kali nyobain pedestrian dan fasilitas sepedanya. Saya rasakan langsung, jauh dari harapan dan bayangan selama ini. Masih banyak tiang besi bekas rambu, penerangan jalan umum, dan lampu merah. Jadi enggak nyaman juga sih," ujar Rosdiana (24), warga Bantarkemang, Bogor Timur, Kota Bogor saat ditemui disela-sela sepeda santai bersama keluarganya, Minggu 4 Desember 2016.
Hal senada diungkapkan Kartina (45), warga Jalan Riau, Baranangsiang, Bogor Timur, Kota Bogor. Ia mengaku kecewa dengan kualitas pedestrian yang sudah mempersempit jalan raya protokol (Jalan Ir H Juanda), kondisinya membahayakan keselamatan pejalan kaki dan pengguna sepeda.
"Meski belum diresmikan, dan belum tuntas betul. Tapi saya lihat di Jalan Otista dan Jalan Ir H Juanda, itu sudah tidak ada pekerjaan, kemudian saya coba jalan-jalan sama anak saya, cukup berbahaya banyak lubang dan tumpukan puing ubin, saluran air juga tidak ditutup rapat. Itu sangat membahayakan," keluhnya.
Berdasarkan pantauan, proyek pedestrian yang dibangun sejak Juni dan akan berakhir Desember ini, kondisinya sangat memprihatinkan. Fasilitas pejalan kaki sepanjang empat kilometer lebih ini, sebagai proyek turunan dari Sistem Satu Arah (SSA) dikerjakan di empat ruas yakni Jalan Raya Ir Juanda, Otista, Jalak Harupat dan Pajajaran sebgian besar sudah selesai.
Hanya di Jalan Jalak Harupat dan Otista saja yang masih terlihat kumpulan pekerja tengah menyelesaikan jembatan dan pedestrian. Sedangkan, di Jalan Ir H Juanda dan Jalan Pajajaran sudah tak ada pekerja yang terlihat melakukan pembangunan pedestrian. Ironisnya, tumpukan puing, tanah dan lubang masih terlihat kumuh.
Selain merusak estetika kota, kondisi pedestrian tersebut masih jauh dari layak sebagai fasilitas yang dibangun untuk memuliakan pejalan kaki. Bahkan, pedestrian yang dibangun dengan sistem betonisasi kemudian dilapis ubin ini, dinilai mengancam dan merusak lingkungan resapan air sekeliling Kebun Raya Bogor.
Ketua Pemerhati Pembangunan dan Lingkungan Hidup Indonesia (PPLHI), Muhamad Nurman menjelaskan, betonisasi yang diterapkan pada pendestrian tidak mempertimbangkan aspek lingkungan. "Kalau ini kan (pendestrian) sama sekali tidak memikirkan dan memperdulikan lingkungan," katanya.
Sudah sepatutnya, pembangunan apapun mesti memikirkan aspek dari lingkungan alam sekitar. Hal itu jelas berbanding terbalik dengan pendestrian tersebut. "Jadi begini, meski pohon itu tetap ada, tapi tanahnya ditutup betonasi, lalu air lari kemana, jika tidak ada tanah percuma, air mau di serap dan di tampung dengan apa," ucapnya.
Bukan hanya aspek lingkungan yang ia kritisi, Nurman juga menilai, bahwa pendestrian dengan lebar seperti yang dibuat sekarang belum selayaknya dimiliki oleh Kota Bogor.
"Pedestrian yang luas dan lebar itu cocok untuk daerah yang memang mobilitas masyarakat pejalan kaki dan pesepedanya tinggi," ujarnya.
Sementara itu, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto saat dikonfirmasi terkait banyak fasilitas publik yang manfaatnya dipertanyakan dan tak sesuai harapan publik menanggapinya secara diplomatis.
"Kita tidak mungkin anti terhadap perubahan, setiap pelaksanaan pembangunan di masa kepemimpinan saya itu selalu menuai kontroversi dan sekecil apapun selalu dikritik, saya akui masyarakat Kota Bogor sangat kritis dibandingkan Bandung," katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, SSA, pedestrian, rerouting angkutan kota (angkot) dan konversi tiga angkot diganti menjadi satu bus di jalur pusat Kota Bogor merupakan program mengatasi kemacetan yang saat ini kondisinya semakin parah.
"Pembangunan pedestrian itu sekaligus untuk merubah paradigma bertransportasi masyarkat. Baik masyarakat Kota Bogor maupun luar Bogor, semuanya dipaksa untuk berjalan kaki. Yang jelas semua proyek terkait konsep surga pejalan kaki maupun kota pusaka ini hasil kajian, baik Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) hidup dan lalu lintas. Maupun kajian budayawan terkait pembangunan simbol-simbol kota pusaka," jelasnya.
(mhd)