Pemprov Diminta Terbuka Soal Dana CSR untuk Pembangunan Jakarta
A
A
A
JAKARTA - Tim Advokasi untuk Demokrasi dan Transparansi mengajukan surat permohonan data dan informasi kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Data (PPID) Pemprov DKI terkait transparansi pengelolaan pemerintahan. Salah satu data yang diminta ialah soal penggunaan dana-dana operasional, serta dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan yang diterima Pemprov DKI
Ketua Tim Advokasi untuk Demokrasi dan Transparansi Mustolih Siradj mengatakan, surat permohonan diajukan sesuai dengan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pihaknya meminta Pemprov DKI lebih transparan dalam melaporkan penggunaan tata kelola pemerintahan di lingkungan DKI Jakarta meliputi dana-dana operasional, CSR dari perusahaan yang diterima Pemprov, dana insentif pajak dan retribusi, anggaran rumah dinas Gubernur dan Wakil Gubernur, pengelolaan APBD, kebijakan reklamasi, biaya kegiatan penggsusuran, SK mutasi dan promosi pejabat dan sebagainya.
“Tujuannya untuk meminta transparansi tentang good governance Pemprov DKI. Selama ini hanya versi sepihak Gubernur saja. Ini bagian dari control public. Kami tidak hanya akan meminta transparansi soal anggaran ini. Tapi kami juga akan meminta transparansi soal dana kampanye dari semua calon,” kata Mustolih kepada wartawan, Selasa, 29 November 2016 kemarin.
Mustolih menolak jika langkahnya dianggap politis.“Kami juga akan meminta transparansi penyelenggaraan pilkada kepada semua pasangan calon, KPU dan Panwaslu. Demokrasi akan benar-benar terwujud bila semua stakeholder mau transparan,” tegasnya.
Mustoloh berharap ada respons bagus dari PPID dengan menjawab surat permohonan dan memberikan data yang diminta. Pihaknya akan menunggu selama 30 hari kerja sejak surat permohonan diajukan pada Senin 28 November 2016.
Seandainya itu ditolak atau tidak direspons, tim akan langsung melaporkan ke Komisi Informasi Publik (KIP). Tim menilai, selama ini Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai petahana tidak terbuka dalam mengelola anggaran.
Mustolih mencontohkan, publik tidak pernah tahu mengenai siapa saja penyumbang dana CSR untuk masyarakat Jakarta, digunakan sebagai apa saja dana CSR tersebut, dasar hukum pemberian dan penggunaan CSR seperti apa, dan kompensasi yang diterima perusahaan pemberi CSR.
“Ini semua tidak jelas. Dasar hukumnya apa, peruntukannya untuk apa saja, dan kompensasi apa yang diterima. Seharusnya PPID merespons permintaan tersebut karena itu sesuai dengan UU Nomor 14/2008. Kami mau semua terbuka agar masyarakat Jakarta tahu,” lanjut Mustolih.
Selain melayangkan surat permohonan transparansi informasi ke Pemprov DKI Jakarta, tim advokasi juga mengajukan surat sama kepada Teman Ahok. Tim mempertanyakan soal badan hukum lembaga atau perkumpulan Teman Ahok, termasuk belum adanya akuntan publik yang mengaudit keuangan lembaga tersebut.
“Kemudian mengenai penggalangan-penggalangan dana yang dilakukan Teman Ahok, apakah mengikuti aturan dari Kementerian Sosial sesuai dengan UU Nomor 9/1961. Itu harus dicek,” tuturnya.
Mustolih juga memastikan tidak ada muatan politis terkait permohonan transparansi informasi ke Teman Ahok.
Ketua Tim Advokasi untuk Demokrasi dan Transparansi Mustolih Siradj mengatakan, surat permohonan diajukan sesuai dengan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pihaknya meminta Pemprov DKI lebih transparan dalam melaporkan penggunaan tata kelola pemerintahan di lingkungan DKI Jakarta meliputi dana-dana operasional, CSR dari perusahaan yang diterima Pemprov, dana insentif pajak dan retribusi, anggaran rumah dinas Gubernur dan Wakil Gubernur, pengelolaan APBD, kebijakan reklamasi, biaya kegiatan penggsusuran, SK mutasi dan promosi pejabat dan sebagainya.
“Tujuannya untuk meminta transparansi tentang good governance Pemprov DKI. Selama ini hanya versi sepihak Gubernur saja. Ini bagian dari control public. Kami tidak hanya akan meminta transparansi soal anggaran ini. Tapi kami juga akan meminta transparansi soal dana kampanye dari semua calon,” kata Mustolih kepada wartawan, Selasa, 29 November 2016 kemarin.
Mustolih menolak jika langkahnya dianggap politis.“Kami juga akan meminta transparansi penyelenggaraan pilkada kepada semua pasangan calon, KPU dan Panwaslu. Demokrasi akan benar-benar terwujud bila semua stakeholder mau transparan,” tegasnya.
Mustoloh berharap ada respons bagus dari PPID dengan menjawab surat permohonan dan memberikan data yang diminta. Pihaknya akan menunggu selama 30 hari kerja sejak surat permohonan diajukan pada Senin 28 November 2016.
Seandainya itu ditolak atau tidak direspons, tim akan langsung melaporkan ke Komisi Informasi Publik (KIP). Tim menilai, selama ini Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai petahana tidak terbuka dalam mengelola anggaran.
Mustolih mencontohkan, publik tidak pernah tahu mengenai siapa saja penyumbang dana CSR untuk masyarakat Jakarta, digunakan sebagai apa saja dana CSR tersebut, dasar hukum pemberian dan penggunaan CSR seperti apa, dan kompensasi yang diterima perusahaan pemberi CSR.
“Ini semua tidak jelas. Dasar hukumnya apa, peruntukannya untuk apa saja, dan kompensasi apa yang diterima. Seharusnya PPID merespons permintaan tersebut karena itu sesuai dengan UU Nomor 14/2008. Kami mau semua terbuka agar masyarakat Jakarta tahu,” lanjut Mustolih.
Selain melayangkan surat permohonan transparansi informasi ke Pemprov DKI Jakarta, tim advokasi juga mengajukan surat sama kepada Teman Ahok. Tim mempertanyakan soal badan hukum lembaga atau perkumpulan Teman Ahok, termasuk belum adanya akuntan publik yang mengaudit keuangan lembaga tersebut.
“Kemudian mengenai penggalangan-penggalangan dana yang dilakukan Teman Ahok, apakah mengikuti aturan dari Kementerian Sosial sesuai dengan UU Nomor 9/1961. Itu harus dicek,” tuturnya.
Mustolih juga memastikan tidak ada muatan politis terkait permohonan transparansi informasi ke Teman Ahok.
(whb)