Tanpa Persetujuan DPRD, Lelang Usulan Ahok Dinilai Siluman
A
A
A
JAKARTA - Lelang kegiatan yang dilakukan Pemprov DKI tanpa persetujuan DPRD DKI dinilai sebagai proyek siluman. Sistem anggaran pemerintahan daerah itu harus ada kesepakatan Pemprov dan DPRD.
Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi mengatakan, kegiatan yang dilelang tanpa persetujuan DPRD itu merupakan kegiatan proyek siluman yang bersumber dari eksekutif dan pengusaha.
Sebab, kata Ucok, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 4/2015, sebuah proyek yang dilelang harus sudah melalui pembahasan dan persetujuan DPRD. "Jadi curiga, kenapa Gubernur Ahok tidak mau cuti saat kampanye dan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) apakah disebabkan untuk 14 proyek senilai Rp4,4 triliun yang sudah dilelang ini," kata Ucok saat dihubungi, Rabu, 2 November 2016 kemarin.
Ucok menjelaskan, Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Sementara (KUA-PPAS) itu seharusnya disampaikan kepala daerah kepada DPRD DKI paling lambat pertengahan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan Rancangan Anggaran Pemerintah Daerah (RAPBD) tahun anggaran berikutnya untuk selanjutnya disepakati paling lambat akhir Juli tahun anggaran berjalan.
Artinya, lanjut Ucok, meskipun itu sudah ada dalam dokumen dan telah ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) seperti apa yang dijelaskannya, lelang kegiatan tidak bisa dibenarkan sebelum ada pembahasan. Dia menilai itu adalah sebuah kekeliruan.
"Jadi, biarpun 14 proyek tersebut sudah ditandatangani, harus lebih dulu melakukan penyusunan dan pembahasan serta adanya persetujuan antara eksekutif, dan legislatif sebelum tayang untuk lelang," ungkapnya.
Plt Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono menegaskan, 14 proyek kegiatan yang sudah dilelang dan salah satunya sudah ada pemenang dipastikan ditunda sampai pembahasan KUA-PPAS selesai dilakukan. Dia mengakui memang ada argumentasi untuk hal yang sifatnya mendesak, bersifat berkelanjutan, kompleks dan membutuhkan perencanaan jangka panjang sehingga waktunya bisa mengejar selama setahun itu masih bisa dimungkinkan.
Namun, lanjut Sumarsono, Badan Pelelangan Barang dan Jasa (BPBJ) tidak bisa menjelaskan secara detail argumentasi lelang kegiatan tersebut. Mereka, kata dia, beralasan karena sudah membuat KUA-PPAS 2017 dan tiga kali diusulkan kepada DPRD tapi belum dapat respons bahkan ada penundaan pembahasan.
Namun, setelah dikonfirmasi, legislatif beralasan bila pembahasan harus berjalan linear. Artinya APBD Perubahan 2016 diselesaikan dahulu baru dibahas KUA-PPAS 2017. Sedangkan eksekutif, maunya simultan dan akhirnya ada perintah untuk melakukan persiapan lelang.
Untuk itu, Soni tetap memutuskan menunda lelang sampai KUA-PPAS selesai. "Masalahnya bukan karena lelang fiktif sekali lagi bukan karena lelang yang dilakukan di zaman Pak Ahok itu fiktif, bukan. tapi karena prosedurnya mendahului KUA-PPAS," ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik mengapresiasi keputusan Plt Gubernur DKI. Dia pun meminta agar para SKPD mematuhi prosedur pembahasan anggaran terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu.
Sebab, DPRD merupakan mitra Pemprov DKI dalam menjalankan pemerintahan daerah. "Sekarang barangnya belum ada kok sudah dilelang. Kami ini apa fungsinya. Dalam pembahasan kan diseleksi lagi, apa benar bermanfaat, apa enggak kebesaran biayanya?. Kalau main putuskan langsung tanpa pembahasan ya namanya fiktif. Siluman," tegasnya.
Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi mengatakan, kegiatan yang dilelang tanpa persetujuan DPRD itu merupakan kegiatan proyek siluman yang bersumber dari eksekutif dan pengusaha.
Sebab, kata Ucok, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 4/2015, sebuah proyek yang dilelang harus sudah melalui pembahasan dan persetujuan DPRD. "Jadi curiga, kenapa Gubernur Ahok tidak mau cuti saat kampanye dan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) apakah disebabkan untuk 14 proyek senilai Rp4,4 triliun yang sudah dilelang ini," kata Ucok saat dihubungi, Rabu, 2 November 2016 kemarin.
Ucok menjelaskan, Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Sementara (KUA-PPAS) itu seharusnya disampaikan kepala daerah kepada DPRD DKI paling lambat pertengahan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan Rancangan Anggaran Pemerintah Daerah (RAPBD) tahun anggaran berikutnya untuk selanjutnya disepakati paling lambat akhir Juli tahun anggaran berjalan.
Artinya, lanjut Ucok, meskipun itu sudah ada dalam dokumen dan telah ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) seperti apa yang dijelaskannya, lelang kegiatan tidak bisa dibenarkan sebelum ada pembahasan. Dia menilai itu adalah sebuah kekeliruan.
"Jadi, biarpun 14 proyek tersebut sudah ditandatangani, harus lebih dulu melakukan penyusunan dan pembahasan serta adanya persetujuan antara eksekutif, dan legislatif sebelum tayang untuk lelang," ungkapnya.
Plt Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono menegaskan, 14 proyek kegiatan yang sudah dilelang dan salah satunya sudah ada pemenang dipastikan ditunda sampai pembahasan KUA-PPAS selesai dilakukan. Dia mengakui memang ada argumentasi untuk hal yang sifatnya mendesak, bersifat berkelanjutan, kompleks dan membutuhkan perencanaan jangka panjang sehingga waktunya bisa mengejar selama setahun itu masih bisa dimungkinkan.
Namun, lanjut Sumarsono, Badan Pelelangan Barang dan Jasa (BPBJ) tidak bisa menjelaskan secara detail argumentasi lelang kegiatan tersebut. Mereka, kata dia, beralasan karena sudah membuat KUA-PPAS 2017 dan tiga kali diusulkan kepada DPRD tapi belum dapat respons bahkan ada penundaan pembahasan.
Namun, setelah dikonfirmasi, legislatif beralasan bila pembahasan harus berjalan linear. Artinya APBD Perubahan 2016 diselesaikan dahulu baru dibahas KUA-PPAS 2017. Sedangkan eksekutif, maunya simultan dan akhirnya ada perintah untuk melakukan persiapan lelang.
Untuk itu, Soni tetap memutuskan menunda lelang sampai KUA-PPAS selesai. "Masalahnya bukan karena lelang fiktif sekali lagi bukan karena lelang yang dilakukan di zaman Pak Ahok itu fiktif, bukan. tapi karena prosedurnya mendahului KUA-PPAS," ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik mengapresiasi keputusan Plt Gubernur DKI. Dia pun meminta agar para SKPD mematuhi prosedur pembahasan anggaran terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu.
Sebab, DPRD merupakan mitra Pemprov DKI dalam menjalankan pemerintahan daerah. "Sekarang barangnya belum ada kok sudah dilelang. Kami ini apa fungsinya. Dalam pembahasan kan diseleksi lagi, apa benar bermanfaat, apa enggak kebesaran biayanya?. Kalau main putuskan langsung tanpa pembahasan ya namanya fiktif. Siluman," tegasnya.
(whb)