DKI Ingin Terapkan Uang Jaminan untuk Pendatang Baru
A
A
A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta berencana menerapkan pemberlakuan uang jaminan bagi pendatang baru yang ingin mengubah nasib di Ibu Kota. Sistem ini pernah diterapkan pada era Ali Sadikin saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat mengungkapkan, sangat menginginkan DKI Jakarta memiliki program pemberlakuan uang jaminan bagi pendatang baru untuk mengatasi arus urbanisasi seperti yang pernah diterapkan oleh Gubernur DKI ke-9, Ali Sadikin. Bahkan, Djarot meminta kepada para pemudik untuk tidak membawa sanak saudaranya ke Ibu Kota.
Sebab, kata Djarot, jumlah warga di Jakarta tidak lagi ideal. Artinya, jika ditambah dengan jumlah pendatang, akan semakin memberatkan pemerintah. Khususnya, bagi yang tidak memiliki keterampilan.
"Dengan uang jaminan, pendatang baru diizinkan tinggal di Jakarta. Tapi kalau selama enam bulan tidak bekerja apalagi menjadi masalah sosial, ya harus pulang dengan uang jaminan yang mereka serahkan itu," ujarnya.
Djarot menuturkan, saat ini masih melakukan kajian terlebih dahulu untuk menerapkan kebijakan program uang jaminan. Pasalnya harus didukung dengan sistem pendataan yang baik dan akurat. Dia pun optimis bila program tersebut tidak akan memberatkan bagi para pendatang baru. Terkecuali para pendatang tersebut memiliki niat tidak baik datang ke Jakarta.
"Kita akan lihat nanti, kalau mereka datang ke Jakarta dengan niat baik, tentu mereka tidak keberatan dengan rencana ini. Tapi kalau mereka ingin berbuat negatif, pasti akan keberatan. Makanya akan dikembalikan ke kampung halamannya," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Perkotaan universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai DKI tidak akan bisa mengatasi arus urbanisasi tanpa bantuan pemerintah daerah lain dan pemerintah pusat. Menurutnya, untuk mengatasi urbanisasi, DKI perlu kerjasam yang erat antardaerah, baik dengan Bogor-Depok-Tangerang dan Bekasi (bodetabek), daerah se-Pulau Jawa ataupun antarpulau.
"Apapun program yang diakukan DKI untuk urbanisasi tidak akan efektif. Tetap akan muncul gejala sosial akibat terus bertambahnya penduduk," ujarnya.
Ada empat hal, lanut Nirwono yang harus dilakukan untuk mengatasi urbanisasi di Jakarta. Pertama, untuk pemprov DKI melalui kepengurusan RT/RW dan kelurahan melakukan pendataan warga yang ada dan warga pendatang secara akurat sebelum dan sesudah Lebaran. Sehingga, akan terlihat kenaikan di setiap kelurahan dengan pasti.
Khusus untuk warga pendatang harus didata asal daerah, keterampilan/keahlian yang dimiliki dan rencana atau tujuan tempat kerja yang pasti. Kedua, kata Nirwono, Pemprov DKI harus bekerjasama dengan pemerintah kota/kabupaten se-Bodetabek untuk menyediakan lapangan pekerjaan sesuai kebutuhan di industri, properti yang tersebar di Bodetabek. Sehingga, warga pendatang bisa diredam untuk masuk dan bekerja di Jakarta.
Ketiga, Nirwono menuturkan bila Pemprov DKI harus bekerjasama dengan pemerintah pusat memfasilitasi kerjasama dengan Pemprov se-Pulau jawa untuk mengembangkan kota-kota metropolitan mengimbangi magnet Jakarta. Seperti Serang, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya sebagai peredam masyarakat di masing-masing provinsi untuk datang ke Jakarta.
"Terakhir, Pemerintah pusat bersama pemprov DKI dan Pemprov luar jawa mengembangkan Ibu Kota provinsi sebagai kota metropolitan, seperti Medan, Padang, Palembang, Batam untuk Pulau Sumatera. Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak untuk Kalimantan; Manado, Palu dan Makassar untuk Sulawesi; Ambon, Jayapura, Sorong, Manokwari untuk Timur; dan Pulau Bali, Mataram, Kupang untuk wilayah Nusa Tenggara," pungkasnya.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat mengungkapkan, sangat menginginkan DKI Jakarta memiliki program pemberlakuan uang jaminan bagi pendatang baru untuk mengatasi arus urbanisasi seperti yang pernah diterapkan oleh Gubernur DKI ke-9, Ali Sadikin. Bahkan, Djarot meminta kepada para pemudik untuk tidak membawa sanak saudaranya ke Ibu Kota.
Sebab, kata Djarot, jumlah warga di Jakarta tidak lagi ideal. Artinya, jika ditambah dengan jumlah pendatang, akan semakin memberatkan pemerintah. Khususnya, bagi yang tidak memiliki keterampilan.
"Dengan uang jaminan, pendatang baru diizinkan tinggal di Jakarta. Tapi kalau selama enam bulan tidak bekerja apalagi menjadi masalah sosial, ya harus pulang dengan uang jaminan yang mereka serahkan itu," ujarnya.
Djarot menuturkan, saat ini masih melakukan kajian terlebih dahulu untuk menerapkan kebijakan program uang jaminan. Pasalnya harus didukung dengan sistem pendataan yang baik dan akurat. Dia pun optimis bila program tersebut tidak akan memberatkan bagi para pendatang baru. Terkecuali para pendatang tersebut memiliki niat tidak baik datang ke Jakarta.
"Kita akan lihat nanti, kalau mereka datang ke Jakarta dengan niat baik, tentu mereka tidak keberatan dengan rencana ini. Tapi kalau mereka ingin berbuat negatif, pasti akan keberatan. Makanya akan dikembalikan ke kampung halamannya," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Perkotaan universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai DKI tidak akan bisa mengatasi arus urbanisasi tanpa bantuan pemerintah daerah lain dan pemerintah pusat. Menurutnya, untuk mengatasi urbanisasi, DKI perlu kerjasam yang erat antardaerah, baik dengan Bogor-Depok-Tangerang dan Bekasi (bodetabek), daerah se-Pulau Jawa ataupun antarpulau.
"Apapun program yang diakukan DKI untuk urbanisasi tidak akan efektif. Tetap akan muncul gejala sosial akibat terus bertambahnya penduduk," ujarnya.
Ada empat hal, lanut Nirwono yang harus dilakukan untuk mengatasi urbanisasi di Jakarta. Pertama, untuk pemprov DKI melalui kepengurusan RT/RW dan kelurahan melakukan pendataan warga yang ada dan warga pendatang secara akurat sebelum dan sesudah Lebaran. Sehingga, akan terlihat kenaikan di setiap kelurahan dengan pasti.
Khusus untuk warga pendatang harus didata asal daerah, keterampilan/keahlian yang dimiliki dan rencana atau tujuan tempat kerja yang pasti. Kedua, kata Nirwono, Pemprov DKI harus bekerjasama dengan pemerintah kota/kabupaten se-Bodetabek untuk menyediakan lapangan pekerjaan sesuai kebutuhan di industri, properti yang tersebar di Bodetabek. Sehingga, warga pendatang bisa diredam untuk masuk dan bekerja di Jakarta.
Ketiga, Nirwono menuturkan bila Pemprov DKI harus bekerjasama dengan pemerintah pusat memfasilitasi kerjasama dengan Pemprov se-Pulau jawa untuk mengembangkan kota-kota metropolitan mengimbangi magnet Jakarta. Seperti Serang, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya sebagai peredam masyarakat di masing-masing provinsi untuk datang ke Jakarta.
"Terakhir, Pemerintah pusat bersama pemprov DKI dan Pemprov luar jawa mengembangkan Ibu Kota provinsi sebagai kota metropolitan, seperti Medan, Padang, Palembang, Batam untuk Pulau Sumatera. Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak untuk Kalimantan; Manado, Palu dan Makassar untuk Sulawesi; Ambon, Jayapura, Sorong, Manokwari untuk Timur; dan Pulau Bali, Mataram, Kupang untuk wilayah Nusa Tenggara," pungkasnya.
(whb)