4 Anggota Polda Metro Jaya Alami Gangguan Kejiwaan
A
A
A
JAKARTA - Sebanyak 92 anggota Polda Metro Jaya dan jajarannya memiliki penyakit kronis sepanjang 2016 ini. Empat orang di antaranya divonis mengalami gangguan kejiwaan berat (schizofrenia).
"Empat anggota polisi yang mengalami gangguan kejiwaan sudah jelas dan akan dilakukan terapi oleh ahli dokter jiwa. Gangguan kejiwaannya ini schizofrenia," ungkap Kabid Dokkes Polda Metro Jaya Kombes Pol Musyafak, Rabu (27/4/2016).
Menurut Musyafak, keempat anggota tersebut masih tercatat sebagai anggota Polri nonaktif. Mereka masih mendapatkan gaji selama belum diberhentikan dari institusi Polri.
Keempatnya bertugas di Direktorat Pam Obvit, Ditpolair Polda Metro Jaya dan jajaran Polres. Meski begitu, keempat orang ini tidak dapat berdinas karena harus menjalani terapi dan dikontrol terus-menerus oleh dokter kejiwaan.
Pasien tersebut juga mendapatkan hak cuti sakit untuk berobat sampai sembuh dengan ketentuan maksimal 3 tahun. "Setelah tiga tahun menjalani pengobatan, nantinya akan dievaluasi, apakah bisa sembuh, kalau tidak direkomendasikan PDH (pemberhentian dengan hormat)," tuturnya.
Musyafak menjelaskan, gangguan kejiwaan ada beberapa jenis. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa bisa hidup normal kembali selama menjalani pengobatan rutin, tetapi bisa kambuh sewaktu-waktu.
"Selama dia minum obat rutin itu bisa normal, bisa terkontrol, bukan berarti sembuh dari kejiwaannya. Kemudian kalau tidak dikasih obat itu dia bisa anfaal lagi, bisa kambuh," katanya.
"Empat anggota polisi yang mengalami gangguan kejiwaan sudah jelas dan akan dilakukan terapi oleh ahli dokter jiwa. Gangguan kejiwaannya ini schizofrenia," ungkap Kabid Dokkes Polda Metro Jaya Kombes Pol Musyafak, Rabu (27/4/2016).
Menurut Musyafak, keempat anggota tersebut masih tercatat sebagai anggota Polri nonaktif. Mereka masih mendapatkan gaji selama belum diberhentikan dari institusi Polri.
Keempatnya bertugas di Direktorat Pam Obvit, Ditpolair Polda Metro Jaya dan jajaran Polres. Meski begitu, keempat orang ini tidak dapat berdinas karena harus menjalani terapi dan dikontrol terus-menerus oleh dokter kejiwaan.
Pasien tersebut juga mendapatkan hak cuti sakit untuk berobat sampai sembuh dengan ketentuan maksimal 3 tahun. "Setelah tiga tahun menjalani pengobatan, nantinya akan dievaluasi, apakah bisa sembuh, kalau tidak direkomendasikan PDH (pemberhentian dengan hormat)," tuturnya.
Musyafak menjelaskan, gangguan kejiwaan ada beberapa jenis. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa bisa hidup normal kembali selama menjalani pengobatan rutin, tetapi bisa kambuh sewaktu-waktu.
"Selama dia minum obat rutin itu bisa normal, bisa terkontrol, bukan berarti sembuh dari kejiwaannya. Kemudian kalau tidak dikasih obat itu dia bisa anfaal lagi, bisa kambuh," katanya.
(whb)