Fraksi Partai Nasdem Nilai Izin Reklamasi DKI Tidak Tepat
A
A
A
JAKARTA - Fraksi Partai Nasdem DPRD DKI menila izin reklamasi yang dikeluarkan Pemprov DKI tidak tepat jika menggunakan dasar Keputusan Presiden (Keppres) No.52 Tahun 1995. Keppres tersebut, telah diganti dengan keluarnya Perpres No.54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Puncak, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.
Hal itu dikataan oleh penasihat fraksi Partai Nasdem DPRD DKI Inggard Joshuam. Bahkan secara tegas, kata dia, dalam Perpres No.54 Tahun 2008 di Pasal 72 huruf C dinyatakan bahwa, Keppres No.52 Tahun 1995 tidak berlaku lagi.
"Jadi, izin yang keluar dengan dasar Keppres 52 Tahun 1995 secara legalitas, dasar hukumnya sudah mati. Otomatis, Keppres No.52 Tahun 1995 tak lagi dapat dijadikan landasan hukum untuk membuat SK Gubernur izin pelaksanaan reklamasi," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat 8 April 2016.
Inggard menjelaskan, kedudukan Perda Zonasi dalam pemberian izin reklamasi diatur oleh dua landasan utama. Yang pertama, Perpres No.122 Tahun 2012 tentang reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di pasal 4,11,17.
Yang kedua, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2013 pasal 8 angka 3 huruf a, yang berbunyi sebagai berikut; 'Izin lokasi reklamasi dan pelaksanaan reklamasi harus sesuai dengan rencana zonasi daerah yang akan direklamasi'.
"Dengan demikian, sebelum izin lokasi diterbitkan, harus mempunyai Perda rencana zonasi wilayah pesisir (DKI Jakarta belum memiliki Perda rencana zonasi wilayah pesisir)," tukasnya.
Lebih lanjut menurut Inggard, berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2013, pasal 5 a dinyatakan bahwa, 'Menteri berwenang menerbitkan izin lokasi reklamasi dan pelaksanaan reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu'.
Kemudian, dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa:
- Izin pelaksanaa reklamasi diatas 25Ha harus mendapat rekomendasi dari menteri.
- Izin pelaksanaan reklamasi diatas 500Ha harus mendapat rekomendasi dari Menteri.
Maka, kata Inggard, berdasarkan ketentuan tersebut, secara hukum izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi di Pantai Utara Jakarta merupakan wewenang mutlak dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Jadi, bila ada pihak yang menyatakan bahwa Pemprov DKI masih mempunyai wewenang memberikan izin pelaksanaan reklamasi merupakan suatu kekeliruan hukum yang fatal bahkan menyesatkan," tegas dia.
Bahkan, dirinya memandang bahwa, izin reklamasi adalah illegal. Hal itu diungkapkannya atas dasar 3 hal utama.
Yang pertama, pemanfaatan ruang laut melalui reklamasi harus didahului dengan peraturan daerah tentang Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) supaya tidak terjadi konflik dalam penggunaan ruang laut. Berdasarkan pasal 17 UU No.1 Tahun 2014, UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil, dan Peraturan Presiden 122/2012 tentang (RZWP3K) maka izin reklamasi tak dapat dikeluarkan dengan hanya didasarkan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Namun harus didasarkan RZWP3K.
Yang kedua, dalam UU 27 Tahun 2007 jo UU No.1 Tahun 2014 jo Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2013 adalah kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk memberikan dan mencabut izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi di tiga wilayah dan salah satunya kawasan strategis nasional (KSN). Jakarta menurut PP No.26 Tahun 2008 termasuk dalam KSN.
Sedangkan yang ketiga, Keppres 52 Tahun 1995 telah dicabut dengan adanya PP 54 tahun 2008. Sehingga tak ada kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi.
Diketahui bahwa, tak sampai dua bulan pasca Ahok ditetapkan sebagai Gubernur DKI pada 23/12/2014 silam, Ahok untuk pertama kalinya menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi.
Izin tersebut, dikeluarkan untuk PT Muara Wisesa Samudra (MWS), anak perusahaan APL, agar bisa melakukan pembangunan Pulau G (Pluit City) seluas 161 ha.
Pada tahun 2015, bekas politikus tiga partai itu kembali menerbitkan izin reklamasi untuk beberapa pengembang. Rinciannya, PT Jakarta Propertindo di Pulau F (190 ha).
Lalu, PT Taman Harapan Indah (anak perusahaan Intiland) di Pulau H (63 ha), PT Jaladri Kartika Eka Pakci di Pulau I, dan PT Pembangunan Jaya Ancol di Pulau K (32 ha).
Hal itu dikataan oleh penasihat fraksi Partai Nasdem DPRD DKI Inggard Joshuam. Bahkan secara tegas, kata dia, dalam Perpres No.54 Tahun 2008 di Pasal 72 huruf C dinyatakan bahwa, Keppres No.52 Tahun 1995 tidak berlaku lagi.
"Jadi, izin yang keluar dengan dasar Keppres 52 Tahun 1995 secara legalitas, dasar hukumnya sudah mati. Otomatis, Keppres No.52 Tahun 1995 tak lagi dapat dijadikan landasan hukum untuk membuat SK Gubernur izin pelaksanaan reklamasi," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat 8 April 2016.
Inggard menjelaskan, kedudukan Perda Zonasi dalam pemberian izin reklamasi diatur oleh dua landasan utama. Yang pertama, Perpres No.122 Tahun 2012 tentang reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di pasal 4,11,17.
Yang kedua, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2013 pasal 8 angka 3 huruf a, yang berbunyi sebagai berikut; 'Izin lokasi reklamasi dan pelaksanaan reklamasi harus sesuai dengan rencana zonasi daerah yang akan direklamasi'.
"Dengan demikian, sebelum izin lokasi diterbitkan, harus mempunyai Perda rencana zonasi wilayah pesisir (DKI Jakarta belum memiliki Perda rencana zonasi wilayah pesisir)," tukasnya.
Lebih lanjut menurut Inggard, berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2013, pasal 5 a dinyatakan bahwa, 'Menteri berwenang menerbitkan izin lokasi reklamasi dan pelaksanaan reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu'.
Kemudian, dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa:
- Izin pelaksanaa reklamasi diatas 25Ha harus mendapat rekomendasi dari menteri.
- Izin pelaksanaan reklamasi diatas 500Ha harus mendapat rekomendasi dari Menteri.
Maka, kata Inggard, berdasarkan ketentuan tersebut, secara hukum izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi di Pantai Utara Jakarta merupakan wewenang mutlak dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Jadi, bila ada pihak yang menyatakan bahwa Pemprov DKI masih mempunyai wewenang memberikan izin pelaksanaan reklamasi merupakan suatu kekeliruan hukum yang fatal bahkan menyesatkan," tegas dia.
Bahkan, dirinya memandang bahwa, izin reklamasi adalah illegal. Hal itu diungkapkannya atas dasar 3 hal utama.
Yang pertama, pemanfaatan ruang laut melalui reklamasi harus didahului dengan peraturan daerah tentang Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) supaya tidak terjadi konflik dalam penggunaan ruang laut. Berdasarkan pasal 17 UU No.1 Tahun 2014, UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil, dan Peraturan Presiden 122/2012 tentang (RZWP3K) maka izin reklamasi tak dapat dikeluarkan dengan hanya didasarkan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Namun harus didasarkan RZWP3K.
Yang kedua, dalam UU 27 Tahun 2007 jo UU No.1 Tahun 2014 jo Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.17 Tahun 2013 adalah kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk memberikan dan mencabut izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi di tiga wilayah dan salah satunya kawasan strategis nasional (KSN). Jakarta menurut PP No.26 Tahun 2008 termasuk dalam KSN.
Sedangkan yang ketiga, Keppres 52 Tahun 1995 telah dicabut dengan adanya PP 54 tahun 2008. Sehingga tak ada kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi.
Diketahui bahwa, tak sampai dua bulan pasca Ahok ditetapkan sebagai Gubernur DKI pada 23/12/2014 silam, Ahok untuk pertama kalinya menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi.
Izin tersebut, dikeluarkan untuk PT Muara Wisesa Samudra (MWS), anak perusahaan APL, agar bisa melakukan pembangunan Pulau G (Pluit City) seluas 161 ha.
Pada tahun 2015, bekas politikus tiga partai itu kembali menerbitkan izin reklamasi untuk beberapa pengembang. Rinciannya, PT Jakarta Propertindo di Pulau F (190 ha).
Lalu, PT Taman Harapan Indah (anak perusahaan Intiland) di Pulau H (63 ha), PT Jaladri Kartika Eka Pakci di Pulau I, dan PT Pembangunan Jaya Ancol di Pulau K (32 ha).
(mhd)