Perwakilan Pekerja Ingin UMP DKI Rp3,3 Juta
A
A
A
JAKARTA - Perwakilan pekerja dewan pengupahan, Muhammad Toha menginginkan UMP DKI sebesar Rp3.324,900. Jumlah ini menurutnya berdasarkan hitungan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Kami melihat dari pengalaman sebelumnya, kalau kita ngotot terus mempertahankan keinginan kita, pemerintah memutuskan jauh lebih buruk. Seperti pada 2013, harapan buruh, UMP sebesar Rp3 juta, karena ngotot dan walk out, pemerintah memutuskan Rp2,4 juta. Begitu juga pada UMP 2014 Rp2,7 Juta, padahal Bekasi Rp2,9 Juta," katanya, Kamis (29/10/2015).
Menjadi lebih berat, lanjut Toha, PP pengupahan terbaru ditetapkan ketika keputusan UMP sudah mendekati final. Dimana, PP tersebut berlaku pada tahun ini.
Kendati demikian, kata Toha, federasi buruh nasional saat ini masih memperjuangkan untuk menolak PP tersebut. Sayangnya dia tidak mau berkomentar lebih jauh lantaran kapasitasnya hanya sebagai perwakilan Buruh DKI.
"PP ini kan dibuat oleh Presiden Jokowi yang pernah menjabat sebagai atasan Ahok. Kalau kita tetap ngotot diluar hitungan formula PP terbaru, bisa-bisa Ahok menetapkan UMP DKI jauh lebih buruk," timpalnya.
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD DKI, Sereida Tambunan menilai UMP DKI 2016 Rp3,1 juta belum mencapai angka maksimal bila dibandingkan dengan kebutuhan hidup di Jakarta.
Menurutnya, UMP DKI yang pantas untuk kebutuhan hidup saat ini sebesar Rp3,3-3,5 juta. Namun, dia mengapresiasi rapat Dewan Pengupahan yang mampu mengambil keputusan tanpa ada perdebatan panjang.
Politisi PDIP itu berharap agar Gubernur DKI Jakarta, Ahok dapat menimbang kembali putusan UMP yang telah disepakati dewan. Begitu juga dengan pemerintah pusat, baik itu kementrian maupun presiden agar dapat mengevaluasi PP tersebut.
"Mau tidak mau, pemerintah daerah memang harus mengikuti PP yang sudah dikeluarkan. Yang perlu dikoreksi mengapa inflasi dan pertumbuhan ekonomi dihitung dari nasional bukan daerah masing-masing. Kan masing-masing daerah berbeda inflasi dan pertumbuhan ekonominya," jelasnya.
"Kami melihat dari pengalaman sebelumnya, kalau kita ngotot terus mempertahankan keinginan kita, pemerintah memutuskan jauh lebih buruk. Seperti pada 2013, harapan buruh, UMP sebesar Rp3 juta, karena ngotot dan walk out, pemerintah memutuskan Rp2,4 juta. Begitu juga pada UMP 2014 Rp2,7 Juta, padahal Bekasi Rp2,9 Juta," katanya, Kamis (29/10/2015).
Menjadi lebih berat, lanjut Toha, PP pengupahan terbaru ditetapkan ketika keputusan UMP sudah mendekati final. Dimana, PP tersebut berlaku pada tahun ini.
Kendati demikian, kata Toha, federasi buruh nasional saat ini masih memperjuangkan untuk menolak PP tersebut. Sayangnya dia tidak mau berkomentar lebih jauh lantaran kapasitasnya hanya sebagai perwakilan Buruh DKI.
"PP ini kan dibuat oleh Presiden Jokowi yang pernah menjabat sebagai atasan Ahok. Kalau kita tetap ngotot diluar hitungan formula PP terbaru, bisa-bisa Ahok menetapkan UMP DKI jauh lebih buruk," timpalnya.
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD DKI, Sereida Tambunan menilai UMP DKI 2016 Rp3,1 juta belum mencapai angka maksimal bila dibandingkan dengan kebutuhan hidup di Jakarta.
Menurutnya, UMP DKI yang pantas untuk kebutuhan hidup saat ini sebesar Rp3,3-3,5 juta. Namun, dia mengapresiasi rapat Dewan Pengupahan yang mampu mengambil keputusan tanpa ada perdebatan panjang.
Politisi PDIP itu berharap agar Gubernur DKI Jakarta, Ahok dapat menimbang kembali putusan UMP yang telah disepakati dewan. Begitu juga dengan pemerintah pusat, baik itu kementrian maupun presiden agar dapat mengevaluasi PP tersebut.
"Mau tidak mau, pemerintah daerah memang harus mengikuti PP yang sudah dikeluarkan. Yang perlu dikoreksi mengapa inflasi dan pertumbuhan ekonomi dihitung dari nasional bukan daerah masing-masing. Kan masing-masing daerah berbeda inflasi dan pertumbuhan ekonominya," jelasnya.
(sms)