Ojek Online Marak, Pemerintah Harus Rumuskan Tarif
A
A
A
DEPOK - Fenomena ojek online membuat pelaku ojek konvensional semakin tergilas. Terlebih saat ini bukan hanya satu ojek online yang merajai kawasan Jakarta dan sekitarnya.
Bermunculannya ojek online ini hingga akhirnya berdampak pada permasalahan sosial dan kerap terjadi konflik di lapangan. Dalam hal ini pemerintah diminta segera turun tangan dengan membuat aturan yang bisa mengatasi permasalahan tersebut.
Misalnya soal penentuan harga serta aturan hukum lainnya. Sehingga bermunculannya ojek online tidak merugikan ojek konvensional.
"Kalau memang nantinya masuk dalam kategori transportasi umum maka mungkin pelat motor bisa dibedakan dengan motor umum. Kemudian mengenai mekanisme tarif juga ditentukan," kata pengamat persaingan Usaha Universitas Indonesia Ditha Wiradiputra dalam diskusi Menelaah Aspek Hukum, Ekonomi dan Sosial Fenomena Gojek: Modernisasi Transportasi vs Tradisi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Depok, Kamis 17 September 2015 kemarin.
Ditha melihat fenomena ojek online sama halnya seperti awal mula munculnya minimarket. Awalnya, keberadaan minimarket diprotes pelaku usaha kecil tradisional.
Begitupun fenomena ojek online ini demikian. "Seperti minimarket yang menggusur warung-warung tradisional. Ini fenomena Go-Jek saat ini," ungkapnya.
Menurut Ditha, ojek konvensional memang tidak punya tarif yang standar. Untuk itu, semuanya harus diatur regulasinya. Seperti saat ini ada aturan Go-Jek yang tidak boleh masuk ke UI, karena ada ojek pangkalan.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Ellen Tangkudung menambahkan, tidak ada jalan keluar yang dirasa adil selain aturan hukum yang jelas. Karena, ini masalah selera masyarakat.
"Mereka merasa lebih nyaman, murah jadi ini soal pemilihan saja. Tidak ada solusi solutif selama belum ada aturan," katanya.
Bermunculannya ojek online ini hingga akhirnya berdampak pada permasalahan sosial dan kerap terjadi konflik di lapangan. Dalam hal ini pemerintah diminta segera turun tangan dengan membuat aturan yang bisa mengatasi permasalahan tersebut.
Misalnya soal penentuan harga serta aturan hukum lainnya. Sehingga bermunculannya ojek online tidak merugikan ojek konvensional.
"Kalau memang nantinya masuk dalam kategori transportasi umum maka mungkin pelat motor bisa dibedakan dengan motor umum. Kemudian mengenai mekanisme tarif juga ditentukan," kata pengamat persaingan Usaha Universitas Indonesia Ditha Wiradiputra dalam diskusi Menelaah Aspek Hukum, Ekonomi dan Sosial Fenomena Gojek: Modernisasi Transportasi vs Tradisi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Depok, Kamis 17 September 2015 kemarin.
Ditha melihat fenomena ojek online sama halnya seperti awal mula munculnya minimarket. Awalnya, keberadaan minimarket diprotes pelaku usaha kecil tradisional.
Begitupun fenomena ojek online ini demikian. "Seperti minimarket yang menggusur warung-warung tradisional. Ini fenomena Go-Jek saat ini," ungkapnya.
Menurut Ditha, ojek konvensional memang tidak punya tarif yang standar. Untuk itu, semuanya harus diatur regulasinya. Seperti saat ini ada aturan Go-Jek yang tidak boleh masuk ke UI, karena ada ojek pangkalan.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Ellen Tangkudung menambahkan, tidak ada jalan keluar yang dirasa adil selain aturan hukum yang jelas. Karena, ini masalah selera masyarakat.
"Mereka merasa lebih nyaman, murah jadi ini soal pemilihan saja. Tidak ada solusi solutif selama belum ada aturan," katanya.
(whb)