Pembelian Pesawat

Jum'at, 17 April 2015 - 08:49 WIB
Pembelian Pesawat
Pembelian Pesawat
A A A
Kabar buruk menimpa TNI Angkatan Udara (AU). Sebuah pesawat F16 Fighting Falcon Block 52ID nomor registrasi TT- 1643 jatuh dan terbakar setelah gagal take off di Lanud Halim Perdanakusuma.

Diduga kecelakaan terjadi karena mall function sistem hidrolik yang kemudian berujung pada terbakarnya mesin pesawat. Beruntung, sang pilot Letkol (Pnb) Firman Dwi Cahyono bisa selamat. Tentu kecelakaan tersebut sangat disesalkan di tengah konsolidasi TNI AU memperkuat penjaga udara wilayah NKRI.

Sebab jatuhnya satu F16 cukup memengaruhi kekuatan armada tempur udara karena secara kuantitas dan kualitas jumlahnya belum seberapa, jauh dari minimum essential force (MEF) yang dipatok TNI. Apalagi pesawat yang jatuh tersebut relatif baru. F16 nahas tersebut adalah satu dari 5 pesawat hibah dari Amerika Serikat (AS) yang sudah tiba di Tanah Air.

Seperti diketahui, Indonesia mengambil tawaran hibah 24 pesawat. Sebelum dikirim ke Indonesia, semua pesawat F16C/D Block 25 terlebih dulu menjalani upgrading serta refurbished mesin, sistem senjata, dan avionik. Karenanya pesawat yang dikirim ke Indonesia benar-benar seperti pesawat baru dengan kemampuan jauh lebih canggih dan tangguh.

Dengan terjadinya insiden tersebut, pro-kontra yang mengiringi keputusan pemerintah menerima tawaran AS pun menyeruak kembali ke permukaan. Ada yang menoleh ke belakang dengan menyesalkan pembelian pesawat yang disebut rongsokan tersebut, ada pula yang memilih melihat ke depan dengan mengingatkan pemerintah agar jangan lagi membeli pesawat bekas.

Benarkah keputusan yang diambil pemerintah saat itu untuk menerima tawaran hibah salah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak bisa menggunakan kacamata idealis, melainkan dengan mempertimbangkan berbagai realitas yang ada seperti keterbatasan anggaran, urgensi pembelian, kebutuhan, dan tentu saja kecanggihan dan ketangguhan pesawat. Kebutuhan Indonesia saat itu adalah membeli pesawat tempur ringan multiperan yang dibutuhkan untuk menjaga wilayah NKRI yang sangat luas.

Keberadaan pesawat tempur Indonesia saat itu, bahkan hingga saat ini, masih jauh dari kebutuhan ideal pascaembargo negara-negara barat, terutama AS. F16 menjadi pilihan utama karena para pilot sudah terbiasa menunggangi pesawat tersebut. Pemerintah pun berencana mengakuisisi 6 pesawat F16 baru. Rencana ini disambut Negeri Paman Sam yang ingin membangun kembali hubungannya dengan Indonesia dengan menawarkan pesawat hibah dengan jumlah jauh lebih besar plus skema upgrading dan refurbished hingga pesawat tersebut berkemampuan setara pesawat sama milik Singapura.

Karena itu, sangat rasional jika kemudian pemerintah menyambut tawaran tersebut. Di tengah kondisi anggaran pertahanan yang sudah lumayan besar, pertimbangan pembelian pesawat tempur tentu harus naik kelas, yakni ditambah dengan pertimbangan perlombaan senjata di kawasan, terutama langkah Australia dan Singapura memborong F35 Lightning II dari AS.

Ancaman ini tentu tidak bisa dijawab dengan kembali membeli pesawat bekas, tapi pesawat yang mampu memberikan detterence effect dan menjadi tandingan sepadan. Dari banyaknya pilihan yang tersedia untuk mengganti F5 Tiger, SU-35 menjadi pilihan tak terhindarkan.

Pesawat pengembangan SU-27 tersebut mempunyai kecepatan, sistem avionik, sistem senjata yang menyaingi pesawat siluman F22 Raptor dan F-5, apalagi F15 dan F18 Hornet yang kini dimiliki sejumlah negara di kawasan. Jika ada dana lebih, pemerintah juga bisa mempertimbangkan Eurofighter Thypoon karena memberi tawaran menarik, yakni transfer of technology (ToT) dan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi.

Perusahaan di bawah Airbus tersebut bukanlah perusahaan asing karena sudah secara tradisional bekerja sama dengan PT DI. Dalam konteks lebih strategis, kerja sama ini bisa menjadi basis proyek pesawat tempur bersama Korea Selatan, KFX/IFX. Semoga bisa terwujud.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5974 seconds (0.1#10.140)