Basa-basi Politik Kekuasaan

Jum'at, 27 Maret 2015 - 10:02 WIB
Basa-basi Politik Kekuasaan
Basa-basi Politik Kekuasaan
A A A
Sejumlah anggota relawan dan tim sukses Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), termasuk di antaranya mereka yang selama ini dikenal sebagai intelektual atau akademisi, mendapat jatah kue kekuasaan dengan menduduki posisi komisaris di sejumlah badan usaha milik negara (BUMN).

Bahkan, di antara menempati posisi komisaris utama. Inilah sorotan yang berkembang belakangan ini. Muara perdebatan terpopuler menjadi dua sisi berseberangan, yakni pro dan kontra. Pihak yang mendukung menganggap lazim mereka yang berkontribusi terhadap kemenangan Jokowi atau JK mendapat jatah kekuasaan.

Mereka pun membandingkan dengan tradisi sama yang sudah berkembang di era rezim sebelumnya. Adapun yang kontra mempersoalkan langkah tersebut dengan mengingatkan janji atau komitmen yang telanjur dideklarasikan Jokowi- JK tentang nirbagi-bagi kekuasaan atau nontransaksional.

Dengan demikian, langkah memasukkan kalangan pendukung ke lingkaran sumber-sumber daya kekuasaan sebagai bentuk pengingkaran. Manakah yang benar? Realitas politik kekuasaan memang selalu berujung kekuasaan, yakni dari bagaimana memperoleh kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, menggunakan kekuasaan, maupun bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan.

Karena itulah, ketika seorang terlibat dalam suatu proyek perebutan kekuasaan, termasuk di dalamnya pemilihan presiden, dalam konteks realitas politik mereka sejatinya tidak sekadar berjuang seperti untuk mewujudkan untuk mewujudkan idealitas politik mereka. Ibarat dua sisi mata uang, hasrat mendapat kekuasaan pun otomatis berjalan beriringan.

Akan sangat dipahami jika kemudian mereka yang memenangi pertarungan kekuasaan akan mengonsolidasikan kekuatan dengan menancapkan kukunya ke semua sumber daya dan kemudian mengendalikannya, termasuk sumber daya keuangan. Konsekuensi logisnya, sang pemenang tentu membutuhkan sumber daya orang untuk menjadi punggawa dan kaki tangan.

Dengan pemahaman inilah, sejatinya siapa pun yang terjun dalam dunia politik, termasuk para pendukungnya, tidak perlu berbasa- basi. Presiden Jokowi, misalnya, saat kampanye tidak perlu mengatakan tidak akan melakukan politik transaksional, termasuk di dalamnya kabinet ramping, karena apa yang disampaikan dalam pemilu akan menjadi catatan.

Jika faktanya pemerintahan saat ini ternyata tidak memenuhi janjinya kabinet gemuk dan tim sukses masuk kekuasaan lantas klarifikasi seperti apa yang bisa disampaikan, kecuali munculnya persepsi tentang pelanggaran komitmen, kepalsuan, dan kebohongan.

Begitu pun mereka yang mengaku menjadi relawan yang menjadi bagian tim pemenangan, juga tidak perlu mengemas dirinya seperti seorang relawan yang murni berjuang tanpa pamrih dan tidak mengharapkan manisnya gula-gula kekuasaan. Dalam politik, definisi relawan hanyalah berlaku bagi masyarakat kebanyakan.

Tapi bagi mereka menempati motor atau inti dari tim pemenangan, mereka tak ubahnya tim sukses yang berjibaku meraih kekuasaan. Terlebih bagi mereka yang berstatus intelektual dan akademisi. Mereka semestinya tidak perlu berlindung di balik jubah lembaga polling atau pengamat, kecuali kelak mereka berani menerima cap sebagai orang yang berani mendustakan etika dan memanipulasi status intelektual sebagai kedok untuk meraih dan menikmati kue kekuasaan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7065 seconds (0.1#10.140)