Sejarah Paham Al-Mahdi: Mulanya Bersifat Politis Bukan Agama

Selasa, 18 Oktober 2022 - 17:05 WIB
loading...
Sejarah Paham Al-Mahdi: Mulanya Bersifat Politis Bukan Agama
Pada mulanya landasan ideal paham al-Mahdi lebih bersifat politis dan bukan didasarkan atas kepentingan agama. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Pada mulanya landasan ideal paham al-Mahdi lebih bersifat politis dan bukan didasarkan atas kepentingan agama. Kemudian para pendukung paham ini sedikit demi sedikit membalut kepentingan politik tersebut dengan kepentingan yang bersifat keagamaan, dan barulah kemudian bermunculan hadis-hadis Mahdiyyah dalam berbagai versinya.

Pada akhirnya tampaklah paham Mahdi ini sebagai paham keagamaan. Apalagi sesudah banyak di antara hadis-hadis Mahdiyyah ini secara kurang selektif dimuat dalam kitab-kitab Sunan.

Ahmad Amin dalam buku yang berjudul "Duhal-Islam" berpendapat bahwa kelompok yang pertama-tama memunculkan paham ini adalah Syi’ah Kaisaniyyah akibat kegagalan mereka berperan di bidang politik.



Paham al-Mahdi memang telah dikenal secara luas di kalangan ummat Islam, namun pengenalan mereka tidak ditunjang oleh pengetahuan yang luas dan obyektif.

Mereka kurang memahami proses terbentuknya paham tersebut, dan pada umumnya mereka mengenal paham Mahdi hanyalah lewat kitab-kitab hadis yang memuat hadis-hadis Mahdiyyah.

Sosiolog Muslim kenamaan, Ibn Kaldun dalam buku "Muqaddimah" mengatakan umat Islam mengenal paham ini, sesudah tersebarnya hadis-hadis Mahdiyyah secara intensif dalam berbagai versinya. Para ahli hadis yang meriwayatkannya, seperti Imam Tirmizi, Abu Dawud, Ibn Majah, al-Hakim, Imam Tabrani dan Abu Ya’la.

Mereka itu menyandarkan hadis-hadis pada sekelompok sahabat Nabi seperti: 'Ali, Ibn 'Abbas, Ibn 'Umar, Talhah, Ibn Mas'ud, Abu Hurairah, Anas Ibn Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Sauban ibn Iyas, 'Ali al-Hilaliy, dan Abdullah Ibn Haris.

Selanjutnya Ibn Khaldun menyatakan: “Apabila pada tokoh-tokoh (orang yang menjadi) sanad (sandaran) hadis-hadis Mahdiyyah, terdapat cacat karena ia pelupa atau jelek hafalannya, lemah atau mungkin jelek pandangan (paham)-nya, kemudian mereka (para ahli hadis tersebut) mencari jalan lain untuk menyahihkan hadis Mahdiyyah atau menilainya di bawah derajat hadis sahih....”

Dalam kaitan ini al-Maududi dalam bukunya Ma Hiyal Qadiyaniyyah mengelompokkan hadis-hadis Mahdiyyah menjadi dua bagian: Pertama, hadis-hadis Mahdiyyah yang secara jelas menyebutkan nama “Mahdi.”

Kedua, hadis-hadis Mahdiyyah yang tidak menyebutkannya secara tegas. Akan tetapi, mengenai asal-usul keturunan al-Mahdi tersebut, terdapat banyak sekali riwayat yang kontroversial.



Sebagian riwayat-riwayat itu, demikian al-Maududi, bahwa al-Mahdi itu adalah keturunan Ali dengan Fatimah puteri Rasulullah. Ada pula riwayat yang menyatakan, al-Mahdi itu berasal dari keluarga Abbas bahkan meluas sampai pada keturunan Abdul-Muthalib (kakek Rasulullah).

Sementara riwayat lain lagi memberitakan bahwa tokoh (al-Mahdi) yang ditunggu-tunggu itu berasal dari suatu kampung yang bernama "Kara'ah," atau "Kadi'ah," atau "Karimah."

Pernyataan hadis-hadis Mahdiyyah yang kontroversial seperti itu menunjukkan banyaknya motif yang timbul dari berbagai kelompok Muslim yang sedang bersaing dan berlomba merebut pengaruh, dengan menyebarkan berita-berita akan munculnya seorang tokoh al-Mahdi atau Juru Selamat, sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing.

Tokoh itulah yang diisukan sebagai orang yang akan membebaskan mereka dari tindakan kezaliman dan penindasan dari lawan-lawan politiknya.

Syi’ah Kaisaniyyah
Istilah al-Mahdi bermula dari sekte Syi’ah Kaisaniyyah yang banyak terpengaruh dan menyerap pikiran Ibn Saba’. Kata al-Mahdi bisa berarti, Allah telah memberitahukan, menunjukkan atau menjelaskan jalan kepadanya.

Dengan demikian, orang yang telah mendapat petunjuk itu disebut al-Mahdi. Dalam hubungan ini ada pula yang berpendapat bahwa sighat kata al-Mahdi itu adalah maf’ul (dalam bentuk mabni lil-majhul) maka kata al-Mahdi berarti orang yang diberi petunjuk Allah.

Hanya saja kata tersebut, dalam bentuknya seperti itu, bermakna fa’il, yakni orang yang terpilih untuk memberi petunjuk kepada manusia. Memang sighat tersebut tidak terdapat dalam Alquran, yang ada adalah sigat al-fa’il, sebagaimana dalam firman Allah: “Dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang beriman ke jalan yang lurus. (QS Al-Hajj, 22: 54)

Juga dalam firman-Nya: "Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong". (QS. AlFurqan, 25: 31).
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3678 seconds (0.1#10.140)