Indonesia sebagai Identitas Politik Kebangsaan

Jum'at, 22 Agustus 2014 - 22:19 WIB
Indonesia sebagai Identitas Politik Kebangsaan
Indonesia sebagai Identitas Politik Kebangsaan
A A A
KATA Indonesia pertama kali dipakai oleh seorang pengamat sosial, George Samuel Windsor Earl, asal Inggris tahun 1850 (Elson, 2008).

Earl menggunakan kata Indunesians untuk mengistilahkan orang-orang atau ras berkulit cokelat yang menghuni Kepulauan Hindia–secara etnografis sebagai cabang ras Polinesia. Selain Earl, temannya James Logan juga menggunakan kata Indonesia, bukan sebagai istilah etnografis tetapi sebagai istilah geografis.

Logan merupakan orang pertama yang menggunakan istilah Indonesia, tetapi hal itu tidak diikuti ilmuwan lain dalam waktu yang sangat lama.

Pemakaian kata Indonesia kembali digunakan tahun 1877 oleh antropolog Prancis ET Hamy untuk menjabarkan kelompok ras prasejarah tertentu di Kepulauan Hindia. Selanjutnya, NB Dennys, seorang ahli linguistik Britania, juga menggunakan kata Indonesia dan dua tahun kemudian Sir William Edward Maxwell, seorang administrator dan ahli bahasa Melayu, juga menggunakan kata Indonesia.

Penggunaan kata Indonesia lebih intensif ketika Adolf Bastian menggunakannya untuk lima jilid bukunya yang berjudul Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel tahun 1884-1894 (Elson, 2008).

Identitas Perjuangan Politik
Teori yang terkenal tentang munculnya sebuah negara (subjektif), yang juga menegaskan lahirnya sebuah bangsa, pertama kali berasal dari pidato Ernest Renan tahun 1882 di Sorbonne berjudul Qu'est-ce qu'une nation? (Apakah sebuah bangsa?)

Teori ini menyatakan bahwa sebuah bangsa adalah soal perasaan dan soal kehendak semata-mata untuk hidup bersama yang timbul pada sebagian besar golongan manusia yang nasibnya sama dalam masa lampau, khususnya yang mengalami penderitaan serupa.

Pidato Ernest Renan ini kemudian menumbuhkan nasionalisme di Eropa khususnya akibat perkembangan fasisme Nazi Jerman dan Mussolini di Italia. Teori itu kemudian diadopsi para pelajar Hindia yang sedang menempuh studi di Eropa yang melihat bangsanya yang sedang terpuruk akibat kolonialisme.

Pada saat kembali ke Hindia-Belanda, kaum terpelajar ini berupaya keras untuk merevitalisasi perjuangan yang sebelumnya bersifat primordial menjadi suatu perjuangan yang memiliki cita-cita menjadikan wilayah Hindia-Belanda merdeka sebagai satu bangsa besar berdasarkan perasaan egaliter karena memiliki nasib serupa sebagai bangsa yang terjajah.

Pada awalnya, kaum terpelajar ini mencoba mencari istilah baru untuk menggantikan istilah inlander yang selama ini dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap golongan pribumi dalam konstelasi masyarakat kolonial selain golongan Eropa dan Timur Asing.

Selanjutnya, penggunaan Indonesia sebagai istilah ilmiah yang telah berlangsung lama sebagai representasi suatu wilayah yang bersifat etnografis maupun geografis dianggap tepat untuk menggantikan kata inlander.

Istilah Indonesia kemudian dijadikan sebagai identitas baru sebagai sebuah orientasi perjuangan untuk menjadi suatu wilayah yang merdeka dari segala bentuk penjajahan (nasionalisme).

Istilah Indonesia memiliki makna yang lebih luas dan kuat secara politis yang menjadi penanda memasuki era baru pergerakan nasional. Kaum terpelajar yang terlibat dalam pergerakan nasional, perlahan dan pasti, mampu mereduksi sifat primordial baik berdasarkan kedaerahan maupun ideologi dalam perjuangan melawan kolonialisme yang selama ini tecermin pada organisasi-organisasi yang tumbuh pada awal abad ke-20.

Pada dasawarsa kedua abad ke-20, gagasan tentang Indonesia sudah terlahir secara tegas walaupun masih terasa lemah dan abstrak dalam implementasinya.

Gagasan mengenai Indonesia ini masih didukung kelompok kecil pelajar di Belanda. Sayangnya di Hindia sendiri gagasan mengenai Indonesia sangat tidak kuat. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan, kelembaman politis, dan sikap represif pemerintah kolonial yang menjadi faktor terberat dalam menumbuhkan gagasan tentang Indonesia.

Namun, pada perkembangannya, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mampu membendung tumbuhnya kesadaran politik di antara mayoritas masyarakat di Hindia.

Seiring dengan semakin kuatnya upaya menyebarkan gagasan tentang Indonesia, para elite pergerakan memahami bahwa masyarakat Hindia seluruhnya merupakan bagian dari bangunan politis yang sangat luas dan mampu menjadi kekuatan yang menjanjikan di masa depan.

Secara bersamaan, berkembangnya teknologi percetakan dan budaya menulis di majalah dan koran memengaruhi proses persebaran gagasan tentang Indonesia yang lebih luas ke seluruh kalangan.

Masa ini merupakan periode di mana gagasan mengenai Indonesia mulai diterima dengan antusias oleh berbagai organisasi nasionalis. Telah diterima secara luas bahwa transformasi nilai-nilai kebangsaan ini tidak lepas dari peran para pelajar yang tergabung dalam organisasi Perhimpunan Indonesia yang telah kembali ke Tanah Air dan selanjutnya menghasilkan pemikiran-pemikirannya.

Para pelajar ini memanfaatkan surat kabar untuk menyebarluaskan gagasan tentang Indonesia yang pada masa itu masih merupakan cara yang baru.

Penyebarluasan gagasan ini sebagai bentuk propaganda untuk menyuarakan anti- Belanda (counter image) dan memperkuat identitas kebangsaan baru yang mulai terbentuk. Indonesia sebagai sebuah gagasan masa depan bersama yang ingin segera dilahirkan menjadi dialektika baru bagi tokoh pergerakan untuk memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia sebagai negara-bangsa.

Dialektika tokoh-tokoh pergerakan seperti Tan Malaka dengan konsep demokrasi parlementer, Semaun dengan sistem dewan regional otonom, Soekarno dengan konsep sosio-demokrasi, Sutan Syahrir dengan idealisme liberal demokratik ala Barat, Muhammad Hatta dengan kedaulatan rakyat yang terdesentralisasi, dan Agus Salim dengan semangat Pan-Islamismenya.

Belajar dari Mereka
Para foundingfather telah mewariskan pengalaman sejarah mereka kepada kita bahwa kepentingan politik (substantif) selalu bersinonim dengan perjuangan untuk kepentingan bangsa seluruhnya setajam apa pun perbedaannya.

Mereka telah memperlihatkan kepada kita bahwa perbedaan pandangan tidak pernah menjadi halangan untuk mencapai cita-cita perjuangan, yakni membebaskan bangsanya dari belenggu kolonialisme sebagai musuh bersama menjadi negara yang merdeka.

Sekalipun mereka memiliki latar belakang budaya dan pendidikan yang berbeda, mereka tetap berupaya merumuskan cita-cita kemerdekaan berdasarkan realitas dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu serta berpikir jauh melampaui masanya mengenai masa depan generasi setelahnya.

Hal ini tentu menjadi bahan kontemplasi mendalam bagi kita terutama para elite saat ini. Pemilu yang telah kita jalani baru-baru ini harus dilihat sebagai momen politik untuk mempertegas kembali bahwa kita memang ditakdirkan berbeda dalam banyak hal. Namun, secara bersamaan, kita juga melihat pemilu sebagai media perjuangan politik menghadirkan dan mewujudkan kembali semangat dan cita-cita proklamasi.

Pesta demokrasi telah usai, semangat persatuan kembali ditegakkan. Berbagai masalah bangsa seperti korupsi, kemiskinan, dan susahnya akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat menjadi musuh bersama dan prioritas utama yang harus segera direalisasi oleh konsensus-konsensus politik pascapemilu.

Jika di awal abad ke-20 makna Indonesia berubah dari hal yang bersifat ilmiah menjadi perjuangan politik kebangsaan, maka makna Indonesia sebagai perjuangan politik kebangsaan saat ini tidak sekadar perjuangan melawan kolonialisme melainkan melawan pragmatisme dan oportunisme pribadi atau golongan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.

IMAM SYAFI’I
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI)
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8796 seconds (0.1#10.140)