Jalaluddin Rumi: Kebenaran Esensial Terletak Pada Kesadaran Batin

Rabu, 29 Maret 2023 - 13:33 WIB
loading...
Jalaluddin Rumi: Kebenaran Esensial Terletak Pada Kesadaran Batin
Penggunaan kata-kata seperti kemabukan atau anggur maupun hati adalah penting. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Idries Shah dalam bukunya berjudul "The Sufis" yang diterjemahkan M Hidayatullah dan Roudlon, SAg menjadi "Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi" menyebut banyak kalangan literalis yang bingung dengan karya puisi Maulana Jalaluddin Rumi . Ia menyebut salah satu puisi Rumi yang diterbitkan dalam "Diwan asy-Syams at-Tabriz" adalah contoh yang menyebabkan sejumlah kebingungan itu.

Karya ini merupakan kajian Rumi terhadap semua bentuk agama yang berlaku, baik agama lama maupun baru. Kesimpulannya bahwa kebenaran esensial terletak pada kesadaran batin manusia itu sendiri, bukan pada organisasi-organisasi eksternal.

Menurut Idries Shah, hal ini benar jika kita menyadari bahwa menurut kepercayaan Sufi , "pengujian" kepercayaan dilakukan dengan cara khusus. Seorang Sufi tidak perlu berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya, mencari agama-agama untuk dipelajari dan mengambil apa yang bisa dibawa dari agama-agama itu.



Ia juga tidak harus membaca kitab-kitab teologi dan tafsir untuk membandingkan satu ajaran dengan ajaran lainnya. "Perjalanannya" dan "pengujiannya" terhadap gagasan-gagasan lain terjadi dalam dirinya. Hal ini karena Sufi percaya bahwa seperti setiap orang mengalami sesuatu yang lain, ia memiliki pandangan batin yang mampu mengukur realitas dari sistem-sistem keagamaan yang ada.

"Tegasnya, akan sangat berat dan tidak berguna untuk mendekati suatu persoalan metafisis dengan menggunakan metode penelitian biasa," ujar Idries Shah.

Seseorang yang bertanya, "Apakah Anda telah membaca buku tentang ini dan itu, karangan si Anu dan si Fulan?" niscaya akan menggunakan pendekatan keliru. Bukanlah buku atau pengarangnya, tetapi realitas buku dan penulis yang ingin disampaikan itulah yang penting bagi Sufi.

Menurut Idries Shah, untuk memperoleh pemahaman tentang seseorang atau ajarannya, seorang Sufi hanya membutuhkan sebuah contoh. Tetapi contoh ini harus akurat. Dengan kata lain, ia harus ditempatkan dalam hubungan erat dengan faktor esensial dalam pengajaran yang terkait.

Sebagai contoh, seorang murid yang tidak memahami secara menyeluruh sistem yang diikutinya, tidak bisa menyampaikan secara memadai sistem itu kepada Sufi guna memungkinkannya membuat pengenalan yang diperlukan.



Berikut ini adalah puisi Rumi yang berbicara tentang pencapaian hubungan erat dengan berbagai agama dan reaksinya terhadap agama-agama itu:

Salib orang-orang Kristiani, dari ujung ke ujung
telah aku kaji. Dia tidak ada di salib itu.
Aku telah pergi ke kuil Hindu, ke pagoda tua.
Di tempat-tempat itu tidak ada tanda-tandanya.
Aku pergi ke dataran tinggi Herat dan Kandahar.
Aku melihat.
Dia tidak ada di dataran tinggi maupun rendah.
Dengan hati yang mantap, aku pergi ke puncak gunung Kaf.
Di sana hanya ada sarang burung 'Anqa.
Aku pergi ke Ka'bah. Dia tidak ada di sana.
Aku bertanya kepada Ibnu Sina tentangnya.
Dia di luar jangkauan filosuf ini ...
Aku melihat ke dalam kalbuku sendiri.
Di situlah tempatnya, aku melihatnya.
Dia tidak di tempat lain ...



Idries Shah menjelaskan kata ganti "dia" di sini maksudnya adalah realitas sejati. Sufi adalah abadi. Penggunaan kata-kata seperti "kemabukan" atau "anggur" maupun "hati" adalah penting, namun paling jauh hanya untuk mendekati realitas sejati itu dengan menggunakan suatu parodi. Sebagaimana Rumi menyatakannya:

Sebelum kebun, tanaman dan buah anggur tercipta di dunia ini,
Jiwa kami telah mabuk dengan anggur abadi.

Sufi mungkin terpaksa mempergunakan perumpamaan dari dunia yang dikenal pada jenjang awal penyampaian, tetapi Rumi mengikuti standar rumusan Sufi dengan sangat ketat.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1487 seconds (0.1#10.140)