Jatinegara, Simbol Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap Belanda

Rabu, 14 Oktober 2015 - 03:32 WIB
Jatinegara, Simbol Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap Belanda
Jatinegara, Simbol Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap Belanda
A A A
NAMA Jatinegara yang berada di kotamadya Jakarta Timur mungkin sudah tidak asing bagi warga DKI Jakarta. Begitupula bagi para pencinta batu akik, batu mulia, permata dan lain sebagainya.

Tetapi, tahukah Anda asal usul nama Jatinegara, kecamatan dari Kampung Pulo yang warganya ditertibkan untuk proyek normalisasi Kali Ciliwung itu? Jatinegara diambil dari kata Jatina Nagara yang berarti simbol perlawanan Kesultanan Banten terhadap kolonial Belanda saat itu.

Karena, pada abad ke-17 daerah ini merupakan pemukiman para pangeran kesultanan Banten. Namun, sebelum nama itu muncul pada tahun 1942, Jatinegara dahulu bernama Meester Cornelis.

Cornelis sendiri nama sebenarnya adalah Cornelis Senen seorang guru agama Kristen yang berasal dari Banda, Maluku. Kemudian, Cornelis Senen membeli tanah di daerah aliran sungai Ciliwung. Sebagai guru dan kepala kampung, dia diberi gelar Meester.

Seiringnya waktu, wilayah itu berkembang menjadi pemukiman dan pasar yang ramai. Dan masyarakat menyebutnya dengan Meester Cornelis atau Mester.

Kemudian, pada abad ke-19 Meester Cornelis menjadi kota satelit atau gemeente Batavia terkemuka. Namun pada awal abad ke-19, tepatnya 14 Agustus-26 Agustus 1811, Meester Cornelis direbut oleh Tentara Inggris dalam peristiwa berdarah Penyerbuan Meester Cornelis yang merupakan perpanjangan dari peperangan perseteruan besar antara Inggris dan Perancis yang telah mengalahkan Kerajaan Belanda sebelumnya.

Meester Cornelis juga merupakan ibu kota dari kawedanan Jatinegara yang melingkupi Bekasi, Cikarang, Matraman, dan Kebayoran. Pada tanggal 1 Januari 1936, pemerintah kolonial menggabungkan wilayah Meester ke dalam bagian kota Batavia.

Maka itu, nama Jatinegara baru muncul pada tahun 1942, setelah Tentara Kekaisaran Jepang menduduki Hindia-Belanda. Nama Meester yang terlalu berbau Belanda diganti menjadi Jatinegara.

Di Jatinegara juga terdapat sejumlah tempat yang patut untuk diketahui.

Seperti Gereja Koinonia yang dahulu dikenal sebagai 'Gereja Bethel', Gereja Kristen Pasundan sebelumnya 'Rehoboth Kerk', kemudian Klenteng Fu De Gong (Hok Tek Tjeng Sien), dan Klenteng Shian Jin Kong.

Begitu juga dengan penjara Cipinang yang tidak jauh dari wilayah Jatinegara, Pasar Induk Beras Cipinang, kemudian Pasar Mester, Pasar Rawa Bening (bursa Batu Akik Jakarta), setelah direnovasi dan diresmikan pada tanggal 12 Mei 2010 oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Foke).

Meski kini nama itu lebih dikenal dengan Jakarta Gems Center (JGC) Rawa Bening. JGC ini tepat berada di Jalan Bekasi Barat, depan Stasiun Jatinegara.

Kini, JGC menjadi pusat perbelanjaan batu permata terbesar di Indonesia, bahkan di Asia. Setiap hari jumlah pengunjung dapat mencapai 1.000 orang, terutama di hari Sabtu-Minggu. JGC yang berupa bangunan empat lantai relatif bersih dan aman, modern, dan memiliki tempat parkir yang memadai.

Bahkan lokasi padat penduduk sejak saat ini sudah dilengkapi alat transportasi yang cukup memadai. Karena, sejak tahun 1881 daerah itu sudah didirikan Stasiun Jatinegara.

Hal itu dilakukan pemerintah sebagai penunjang masyarakat yang berdomisili di wilayah itu. Bahkan, pemerintah juga membuat Stasiun Jatinegara yang dimana stasiun ini adalah bertemuanya tiga jalur, seperti jalur Pasar Senen, jalur ke Manggarai, dan jalur ke Bekasi.

Kini, wilayah yang tidak "mati" dari hingar bingar kehidupan itu pun telah menjadi satu wilayah padat penduduk yang ada di Ibu Kota Jakarta. Bahkan, pemerintah terus memperhatikan hiruk pikuk yang ada di wilayah itu untuk penataan kota agar lebih baik.

(Diolah dari berbagai sumber)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5970 seconds (0.1#10.140)