Menaklukkan Ibu Kota

Sabtu, 25 Juli 2015 - 10:59 WIB
Menaklukkan Ibu Kota
Menaklukkan Ibu Kota
A A A
Ada tradisi atau kebiasaan setelah merayakan Lebaran di kampung halaman, pemudik akan mengajak kerabat maupun handai taulan untuk mengadu nasib mencari hidup di Ibu Kota.

Fenomena ini sudah berlangsung lama. Sejak tradisi mudik itu sendiri dimulai, sejak itulah budaya mengajak kerabat ke Jakarta itu terjadi. Para perantau yang dianggap sukses ”menaklukkan” Jakarta adalah harapan tersendiri bagi kerabat maupun pemuda-pemudi di kampung halaman untuk mengikuti jejak kesuksesan mereka. Inilah yang menjadi penyebab tingginya angka urbanisasi dari desa ke Jakarta yang dimulai pasca-Lebaran.

Sepanjang belum ada harapan lain yang lebih menjanjikan dari gemerlapnya Ibu Kota, urbanisasi akan terus terjadi. Membawa sanak keluarga ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang layak adalah hak setiap orang yang tidak bisa dihalang-halangi. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berusaha dan bekerja di mana pun dan kapan pun.

Imbauan pemerintah agar para pemudik tidak membawa kerabat ke Jakarta dimaksudkan agar para pendatang baru ini tidak menimbulkan masalah sosial di Ibu Kota yang memang sudah kompleks dililit masalah. Ini terjadi karena mayoritas pendatang tidak memiliki modal pendidikan formal maupun keterampilan yang memadai.

Karena tuntutan dan biaya hidup yang mahal, banyak yang terperosok ke kehidupan kriminalitas dan penyakit sosial lainnya. Ini cerita pilu para pendatang yang gagal di Jakarta. Namun, tidak sedikit cerita sukses pendatang yang awalnya hanya modal nekat dan akhirnya mampu meraih sukses baik sebagai karyawan maupun wirausaha. Malah ada yang sukses menjadi ”orang” yang mampu menghidupi banyak orang.

Kisah sukses menaklukkan Ibu Kota ini tentu menjadi motivasi tersendiri bagi banyak orang yang tinggal di kampung halaman. Apalagi, pemerataan pembangunan melalui otonomi daerah masih belum cukup menyerap kaum muda sebagai tenaga kerja. Jumlah mereka banyak, tapi kesempatan kerja di daerah sangat sedikit.

Ratusan ribu orang tiap tahun harus berebut kursi pegawai negeri sipil (PNS) di daerah yang daya tampungnya hanya puluhan. Karena itu, pengangguran di daerah adalah masalah krusial yang harus segera dipecahkan agar mereka tidak lari ke Jakarta untuk mengadu keberuntungan. Semangat berwirausaha yang sudah ramai didengungkan oleh banyak pihak, baik pemerintah, swasta, ormas, maupun organisasi kewirausahaan, terasa masih belum mampu menjawab masalah ini.

Kesadaran para pemuda kita untuk berwirausaha harus terus dipupuk agar mindset menjadi PNS setelah lulus sekolah sedikit demi sedikit bisa berubah. Mengubah mindset memang bukan pekerjaan gampang. Harus kontinu dan berkelanjutan. Namun, kita patut berbangga dengan capaian sebagian generasi muda kita yang all out menjadi pengusaha dan akhirnya sukses.

Indonesia memang masih butuh banyak sekali wirausaha andal. Dengan jumlah penduduk yang mayoritas usia muda dan produktif, Indonesia memiliki potensi besar memajukan ekonomi melalui wirausaha sekaligus mengikis pengangguran dan kemiskinan. Kisah manis menaklukkan Ibu Kota adalah fenomena global. Tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga bisa kita temukan di semua ibu kota di dunia.

Baik itu negara-negara maju, negara berkembang, maupun negara miskin sekalipun. Karena itu, gelombang urbanisasi ini bukan hanya masalah Jakarta, tapi juga masalah seluruh bangsa Indonesia. Fakta mengatakan, tingkat kesulitan hidup di Jakarta memang yang paling tinggi di antara kota-kota besar lainnya.

Jadi wajar saja jika orang yang sudah lulus hidup di Jakarta akan lebih mudah menghadapi gelombang kehidupan di kota lainnya. Jakarta adalah kota untuk menempa diri, mencari pengalaman, dan uji nyali bagi kaum pendatang. Banyak yang gagal, tapi tidak sedikit yang sukses menaklukkannya.
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4797 seconds (0.1#10.140)